Stop Penjajahan Di Bidang Kesehatan


Saat ini kita dihadapkan pada realitas yang mengerikan. Para ahli kesehatan mengkhawatirkan terjadinya apa yang disebut dengan lost generation pada bangsa ini. Bagaimana tidak? Menurut data Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 3,5 juta anak menderita gizi kurang, dan 1,5 juta anak menderita gizi buruk, serta menurut WFP 150.000 di antaranya marasmus-kwashiorkor.
Sementara itu, TBC (tuberkulosis) terus menjadi ancaman serius dengan jumlah penderita 5,8 juta orang, dengan 582 kasus baru setiap tahun. Malaria mengancam 107.785.000 jiwa. Penderita HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrom) meningkat sangat pesat, yaitu sekitar 130.000 jiwa tertular, dan 19 juta jiwa yang rawan tertular. Penderita ISPA di Jakarta tahun 1999 tercatat 1.023.801 jiwa. Kembali terjadi kejadian luar biasa (KLB) polio. KLB demam berdarah dengue (DBD) diare dan korban muntaber terus berjatuhan, Tiga orang dari 10 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa. Penyakit degeneratif tidak terbendung.

Menuai Dolar, Menyebar Penyakit
Berbagai penyakit yang terus menjangkiti masyarakat sesungguhnya merupakan akumulasi efek (cummulative effect) dominasi (baca: penjajahan) Kapitalisme yang menghancurkan sendi-sendi kesehatan masyarakat. Inilah buktinya. Sekularisme yang menjadi jiwa kapitalisme membuat ratusan juta anak manusia menderita krisis spiritual (baca: krisis akidah Islam). Akhirnya, manusia kehilangan daya kelola stres dan daya adaptif (coping mechanism) positif yang penting untuk mempertahankan daya imunitas. Tubuh pun menjadi rentan dijangkiti berbagai penyakit seperti kanker, hipertensi dan infark miokard. Krisis spiritual juga meningkatkan penyalahgunaan NAPZA, angka bunuh diri, kekerasan dan berbagai bentuk depresi.
Bisnis fast food (baca: junk food) dan berbagai soft drink yang dikuasai oleh multinational coorporations (MNCs) turut bertanggung jawab terhadap persoalan kesehatan seperti kanker, obesitas, diabetes dan gangguan sistem percernaan. Revolusi seks bebas yang bertanggung jawab sebagai sumber penularan utama berbagai penyakit menular seksual juga tak lepas dari penjajahan kapitalisme global, yaitu melalui berbagai bentuk bisnis yang berbalut syahwat. Hal ini mengakibatkan penderita penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS, infeksi HPV (Human Papillomo Virus) meningkat pesat. Bisnis syahwat ini pula yang menjerat ratusan ribu wanita dalam jaringan perdagangan manusia internasional. Mereka dalam tekanan fisik dan mental, putus asa dan rawan tertular berbagai penyakit menular seksual.
Kapitalisme global jelas bertanggung jawab atas pemiskinan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Pemiskinan terkait erat dengan masalah kurang gizi, yang pada Ibu hamil mengakibatkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah bahkan cacat. Selain kehilangan kecerdasan, anak penderita kurang gizi juga rentan terinfeksi, menderita berbagai gangguan fisiologis, bahkan bisa berujung pada kematian. Kemiskinan juga mengakibatkan hampir separuh penduduk Indonesia tidak mampu mengakses air bersih dan sanitasi yang layak (UNDP, 2006). Menurut catatan Depkes tahun 2002, hanya 64,89% masyarakat yang memiliki rumah sehat dan hanya 78,45% masyarakat yang memiliki tempat-tempat umum sehat.
Indusrialisasi yang bersifat kapitalistik juga bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan oleh berbagai limbah berbahaya yang mengakibatkan gangguan berbagai fungsi organ; juga atas kerusakan berbagai ekosistem, hilangnya paru-paru dunia serta munculnya berbagai polutan yang berperan dalam pemanasan global dan perubahan iklim global. Akibatnya adalah terjadi banjir, kekeringan dan serangan topan dan gagal panen, yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Menurut Prof. Umar Fachmi, perubahan iklim global telah mengakibatkan malaria kembali mewabah di beberapa daerah.

Lembaga Internasional: Alat Penjajahan
Setelah membebani masyarakat dengan berbagai macam penyakit, kekuatan Kapitalisme global melalui lembaga-lembaga internasional, seperti IMF (International Monetery Fund) dan WTO (World Trade Organization) terus melucuti dan memandulkan fungsi sosial negara, termasuk kewajiban negara memberikan jaminan pelayanan kesehatan berkualitas bagi semua warga negara.
Bersamaan dengan itu, MNCs dan TNCs (transnational coorporations) terus mengokohkan keberadaan lembaga-lembaga kesehatan internasional seperti WHO (World Heath Organization), CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan FDA (Food and Drug Administration) sebagai kendaraan kapitalisme global. Terbongkarnya bisnis fantastis (Rp 5,220 triliun) di atas mayat penderita avian influeanza baru-baru ini bukanlah bukti yang pertama WHO sebagai kacung kapitalisme. Sebab, ternyata GISN (Global Infuleanza Surveilance Network) WHO telah melakukan hal serupa terhadap berbagai seed virus influenza selama 50 tahun.
Kasus vaksin rotavirus yang menghebohkan masyarakat AS pada tahun 1999 adalah bukti lain tentang keterlibatan lembaga bergengsi CDC dan FDA dalam kepentingan Kapitalisme global. Vaksin yang membahayakan nyawa puluhan sampai ratusan bayi itu ternyata tetap lolos ke pasaran lebih karena pengambil keputusan di CDC dan FDA ditentukan oleh para pemilik saham di perusahaan pembuat vaksin, antara lain adalah John Modlin, yang juga memiliki saham senilai $26.000 di Merck; Paul Offit, M.D., anggota penasihat CDC yang memegang hak paten untuk vaksin rotarovirus.
Dolar kembali menunjukkan kekuasaannya pada kasus kadar aman merkuri di dalam vaksin, yaitu memilih kompromi antara AAP, yaitu asosiasi ahli bedah Amerika, CDC dan FDA (Juli 1999). Meskipun kehadiran vaksin penuh dengan polemik, sungguh “menakjubkan” MNCs mampu memandulkan daya nalar, tak terkecuali insan kesehatan, yaitu mengubah paradigma preventif yang bersifat alamiah-konvensional—seperti mengkonsumsi gizi seimbang dan meningkatkan daya kelola stres—menjadi paradigma “preventif” dengan vaksinasi. Semua ini tidak terlepas dari keuntungan fantastis yang bisa diperoleh dari bisnis vaksin. Contoh, untuk program vaksinasi HPV perorang dibutuhkan biaya sekitar Rp 3.000.000.
Cukup mudah menemukan tulisan tentang pembenaran harm reduction, yaitu pengurangan bahaya penularan HIV bagi pengguna narkoba dengan subsitusi metadon dan pembagian jarum suntik steril. Namun, jika ditimbang secara rasional terdapat beberapa kejanggalan atas upaya ini, dan semakin mencurigakan, ketika WHO mengalokasikan dana secara irasional untuk pencegahan HIV/AIDS, yaitu 15 kali lebih besar daripada untuk pencegahan penyakit TBC. Padahal HIV/AIDS hanya pembunuh nomor empat dunia, setelah TBC, malaria dan busung lapar (Time, 2006).
Peran lembaga-lembaga kesehatan internasional sebagai kendaraan Kapitalisme global juga terlihat nyata ketika WHO bergandengan tangan dengan raksasa-raksasa farmasi internasional seperti Bayer, Pfizer dan Aventis melalui World Economic Forum untuk menyediakan obat pada masyarakat miskin Dunia Ketiga. Banyak pihak yang meyakini rekanan ini lebih untuk kepentingan para coorporate raksasa itu.

Penjajahan Melalui UU
Undang-undang adalah cara “sopan dan intelek” kapitalisme global dalam meraih berbagai kepentingannya. Kenyataannya, dengan meratifikasi berbagai perjanjian (yang tentunya telah dipersiapkan dengan sangat licik), kita semakin berada dalam cengkeraman sang penjajah yang haus dolar dan darah.
Salah satu contohnya adalah akibat Indonesia meratifikasi GATS (General Agreement on Trade Services), yaitu salah satu perjanjian yang diterapkan WTO, pada Putaran Uruguay, awal Januari 1995. Terkait dengan layanan kesehatan, yang perlu digarisbawahi dari penjanjian ini adalah perubahan jasa kesehatan dari social goods menjadi commercial goods. Sebagaimana kebanyakan perjanjian perdagangan multilateral lainnya, perjanjiian ini juga ditujukan agar negara-negara Dunia Ketiga, juga Indonesia, takluk di bawah kekuasan MNC. Perlu pula dicatat, WHO turut berupaya agar GATS diterima di berbagai negara.
Sejak kesepakatan ini diratifikasi, para koorporat berusaha menguasai pasar dunia kesehatan, yaitu dengan berbagai teknologi terkini kesehatan seperti telemedicine, telediagnose, telehealtheducation. Selain itu, para koorporat menguasai bisnis jasa pelayanan kesehatan dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat (yang berduit) mengakses jasa kesehatan miliknya, yang menjanjikan segala yang serba ‘wah’; juga kemudahan para koorporat melakukan investasi pada jasa pelayanan kesehatan. Ini bisa dilihat dari berdirinya RSI (Rumah Sakit Internasional) di beberapa kota besar di Indonesia. Disinyalir kuat GATS menjadi jalan mulus bagi masuknya tenaga kesehatan asing ke Indonesia.
Pada saat praktik dibatasinya hanya pada tiga tempat, sementara itu ada tawaran gaji yang jauh lebih besar, beserta peralatan kedokteran yang serba cangih pada jasa layanan kesehatan milik para korporat, para dokter lebih memilih sebagai pekerja para kapitalis daripada sebagai dosen atau membuka praktik di klinik-klinik gurem. Akibatnya, klinik-klinik kecil terancam gulung tikar. Rakyat miskin semakin sulit mendapatkan layanan kesehatan berkualitas. Inilah akibat yang dirasakan dengan disahkannya RUUPK (Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran) tahun 2005.
Berdalih agar pengguna narkoba suntik tidak tertular HIV, KPAN (Komisi Penangulangan Aids Nasional) berupaya mengamandemen UU Psikotropika. Ini karena UU Psikotropika mengkategorikan pemegang alat suntik narkoba sebagai pelaku kriminal. Sementara itu, untuk melegalkan praktik aborsi, meskipun tanpa indikasi medis, dengan dalih menekan angka kematian ibu, Ford Foundation telah mengucurkan dana tidak sedikit agar UU Kesehatan No. 23 tahun 1992—yang melarang aborsi kecuali dengan indikasi medis—diamandemen.
Pada berbagai proses amandemen itu, peran penting LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) terlihat jelas, seperti pada kasus amandemen UU Kesehatan. Keberadaan LSM sebagai wadah aktivitas dan para pelacur ilmu sebagai motor perpanjangan tangan kapitalisme global tidak perlu diragukan lagi. Semua itu semakin menambah berat penyakit yang diderita masyarakat.

Stop Penjajahan!
Berdasarkan uraian di atas, satu-satunya langkah rasional untuk meyembuhkan segala penyakit yang membebani masyarakat hanyalah dengan menghilangkan sumber penyakitnya, yaitu menghentikan penjajahan Kapitalisme global. Hanya saja penjajahan kapitalisme global itu tidak akan berhenti, kecuali dengan cara menata ulang ruang kehidupan yang menjadi sarang penjajahan tersebut. Dengan begitu, tidak ada lagi ruang bagi sang penjajah untuk bernafas. Satu-satunya tatanan kehidupan yang bersifat demikian adalah sistem kehidupan Islam. Itulah Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. mewajibkan kita mewujudkan sistem kehidupan ini agar manusia terbebas dari segala bentuk penjajahan, yang menjadi sumber beban penyakit yang diderita masyarakat. Allah Swt. berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta. (QS al-Anbiya’ [21]: 107)

Tentu tidak hanya orang Islam yang akan merasakan rahmat Allah yang dihasilkan dari penerapan sistem kehidupan Islam, tetapi juga non-Muslim, bahkan seluruh alam.
Tatanan kehidupan Islam yang bersumber dari Allah SWT, Pencipta segala sesuatu dalam kesetimbangan/keserasian yang menakjubkan, tidak saja menjaga keseimbangan dinamis tubuh kita, tetapi juga menjamin terwujudnya keseimbangan dan keharmonisan antara host (manusia), agent (berbagai kuman dan zat kimia) serta lingkungan fisik dan biologi, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya kesehatan bagi semua. Allâhu a‘lam.

[Fikriyyah Mustaniirah; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

Daftar Pustaka

1. Fact Sheet: Gizi Buruk. Koalisi untuk Indonesia Sehat.
2. Gizi.net. “Laporan Kemajuan untuk MDGs, Tahun 2005”.
3. http.www.Infeksi.com. 5,8 juta orang terinfeksi TBC.
4. “49,6% Penduduk Berisiko Tertular”. Kompas, 15 November 2006.
5. CDC. Global Summary of The AIDS Epidemic, December 2006.
6. Kespro Info.
7. “Tujuh Belas Ribu Enam Ratus Polisi Jakarta Derita ISPA. Warta Kota. 24 Desember 2004.
8. KLB Polio Indonesia, 2005. Kasus Polio Indeks di Cidahu, 13 Maret 2005. Info Penyakit Menular. DirJend. P2M&PL.DepKes.On Line.http//ww.go.id. http:www.infeksi.com.
9. “Demam Berdarah Mewabah”. Media Indonesia. 13 Januari 2007.
10. “Delapan Balita Meninggal Akibat Diare”. Media Indoensia. 7 November 2006.
11. Direktorat Kesehatan Jiwa. DepKes. Jakarta. 2004.
12. “Penderita Diabetes di Indonesia 14 Juta”. Media Indonesia. 15 Nov. 2006.
13. An-Nabhani. Peraturan Hidup Dalam Islam. Pustaka Thoriqul Izzah. Bogor.2004.
14. Zohar, D dan Marshall, I. SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence. Blomsbury.2000.
15. McEwen BS. Ann N Y Acad Sci. 2004;1032:1-7.
16. Kendler,C.O., et.al.: “Religion, Psychopathology, Substances Use and Abuse; A Multimeasure, Genetic-Epidemiology Study”. The American Journal of Psychiatry, Vol. 154, No.3, March 1997.
17. Rutz W. Rethinking Mental Health: European WHO Perspective. World Psychiatry. 2003;2(2):125-7.
18. Goodhart R.S.dan Shils ME. Modern Nutrition in Health and Disease. Lea Febringer. Philadelphia. 1990.578-589.
19. “Kanker, Pembunuh Perempuan Nomor Satu”. Jurnal Nasional. 24 Agustus 2006.
20. “Perdagangan Manusia”. Kompas, Jumat, 15 Juni 2007.
21. Waterlow, J. C. Protein Energy Malnutrition. St. Edmundsbury Press. Great Britania. 1993.
22. DepKes. Profil Kesehatan Indonesia 2002 (Lampiran). DepKes RI.Jakarta. 2003.
23. Klassen CD. “Heavy Metals and Heavy Metals Antagonist”. Dalam: Goodman dan Gil man’s, eds. Pharmachology Basic of therapeutics. New York: Graw-Hill, 2001:1851-75.
24. “Dampak Pemanasan Global”. Jurnal Nasional. 24 Agustus 2006.
25. Supari, S. F. It’s Time for The World to Change. SWI. Jakarta. 2008.
26. Cave, S. Dan Mitchell, D. Yang Orang Tua Harus Tahu Tentang Vaksinasi pada Anak. (Susi Purwoko: Penerjemah). Gramedia. Jakarta. 2001.
27. Penatalaksanaan Program Vaksinasi. Program 15 Maret 2008 di RS. Medistri (Lembaran Promosi).
29. “Laporan ةcole Politechnique Fédérale de Lausanne untuk European Federation of Pharmaceutical Industry Associations”. [EFPIA], online di www.efpia.org
30. Dranger, N dan Fidler D.P. Managing Liberalization of Trade in Services From A Health Policy Perspective. February 2004. WHO. Geneva.
31. Nisa. “Penjajahan Kapitalisme Global”. Makalah
32. Mboi, N. “Reformasi UU dengan Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Menyelamatkan Anak Indonesia dari Epidemi AIDS”. Seminar Forum Parlemen. Jakarta, 27. Juni 2006. Hand Out.
33. Mohamad, K. “Kesehatan Reproduksi dalam Rancangan Amandemen Undang-Undang Kesehatan no. 23 tahun 1992.” Maj Obstet Ginekol Indones. Vol 28, No.4. Oktober 2004.
34. Lembaga Penelitian Smeru. “Perspektif LSM Tentang Masalah Nasional, Di Era Reformasi dan Demokratisasi.” No: 08, Oktober-Desember, 2003.

Source: www.hizbut-tahrir.or.id

No comments: