Konsumen dan Lingkungan: Peran, Hak, dan Tanggung Jawab*)

DENGAN adanya dampak dan implikasi yang mengancam, tidaklah mengherankan bila kata “lingkungan” diabadikan dalam plakat hak-hak konsumen dan manifesto tanggung jawab konsumen sebagaimana dilontarkan dan diadvokasikan oleh organisasi konsumen dunia, Consumers International (CI). Yang sama pentingnya juga adalah adanya kebijakan bahwa konsumen berhak akan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman, yang dicerminkan dengan tanggung jawab konsumen untuk melindungi dan mengembangkan lingkungan di masa kini dan masa mendatang.
Dari segi inilah, menjadi penting bagi CI untuk selalu menyebut-nyebut dan menegaskan proyek dan program yang tengah berjalan di bidang pendidikan, informasi, dan meningkatkan kesadaran kritis konsumen untuk mengenal dan meluruskan perilaku tidak sehat berupa konsumsi tanpa kendali dan gaya hidup tercela yang menguras dan melampaui batas-batas daya dukung fisik dan sosial-lingkungan.

Paradoks
Paduan suara ketimpangan dan ketidakadilan yang menggema di dunia, yang berkaitan dengan pola-pola konsumsi dan gaya hidup dewasa ini, sungguh mengejutkan dan membuat kita terperangah. Lebih-lebih menyangkut jurang lebar antara ekonomi Utara (yang disebut-sebut sebagai the haves) dan ekonomi Selatan (dijuluki sebagai the have-nots). Contoh-contoh berikut merupakan bukti gamblang sebagai batu pengingat akan tragedi yang sedang merundung kita:
• Cuma dengan 25 persen penduduk dunia, konsumen negara-negara Utara melahap 80 persen sumberdaya alam dan menghasilkan 75 persen dari 2,5 juta ton sampah kota dan industri dunia setiap tahun.
• Rata-rata orang Utara diperkirakan—langsung atau tidak—mengonsumsi lebih dari 120 kg kertas tiap tahun, dibandingkan dengan rata-rata 8 kg per kepala konsumsi kertas di Selatan, lebih dari 450 kg besi dan 26 kg logam lain di negeri Selatan dan mengonsumsi energi setara dengan 6 ton batubara tiap tahun dibandingkan dengan 0,5 ton di Selatan.
• Pihak Selatan bertanggung jawab hanya pada pemakaian 20 persen pestisida, namun menanggung lebih dari 50 persen kerusakan dunia akibat pestisida dan 80-90 persen kematian yang dikaitkan dengan pestisida.
• Hampir 25 persen dari semua pestisida yang digunakan untuk memberantas serangga yang hanya mempengaruhi penampilan fisik (segi kosmetik) produk-produk pertanian. Selanjutnya, sekitar 40-70 persen pestisida yang dihabiskan di negara Selatan bukan untuk tanaman pangan konsumsi dalam negeri, tapi lebih banyak untuk komoditas ekspor ke negara-negara Utara.
• Ratusan juta rakyat Afrika, Asia, dan Amerika Latin kelaparan, bukan karena bumi ini kekurangan makanan, melainkan akibat mereka miskin cara dan peralatan untuk bercocok tanam dan memperjualbelikannya. Faktor-faktor yang terlibat meliputi tanah yang tak mereka miliki, hutang luar negeri, surplus makanan di Utara, makin runyamnya perdagangan, dan bantuan yang melemahkan petani Selatan untuk lebih banyak menghasilkan makanan guna memenuhi kebutuhan negeri sendiri.
• Orang-orang yang menikmati keuntungan dari eksploitasi tanpa pandang bulu terhadap sumber daya alam biasanya bukan mereka yang harus bersakit-sakit mengupayakannya. Contohnya, perusahaan-perusahaan kayu dan pabrik makanan binatang piaraan di negeri Utara menginginkan kayu dan daging semurah dan sesegera mungkin, tanpa peduli dengan konsekuensi terhadap negara Selatan.
Yang lebih meruwetkan persoalan, mitra dagang mereka di negeri Selatan berbagi kepentingan dan keserakahan untuk sebanyak mungkin meraih keuntungan dan pengembalian modal secepatnya. Namun, rakyat miskin di Selatan sedikit saja atau tidak sama sekali mendapat untung, kecuali dampak-dampak buruk berkesinambungan yang dibangkitkan oleh perilaku yang merusak lingkungan semacam itu. Setali tiga uang dengan sektor-sektor sosial lain di Utara dan Selatan boleh menikmati keuntungan hari ini dan menanggung derita esok hari.

Konsumen Hijau
Hubungan antara konsumen dan produsen tengah mengalami perubahan besar tahun-tahun belakangan ini. Makin banyak konsumen yang beralih dari norma tradisional “nilai uang”—dalam memilih produk dan jasa yang ditawarkan—menuju “nilai manusia” dan “nilai lingkungan”. Tenaga pendorong ke arah perubahan persepsi, sikap, dan perilaku konsumen, yakni meningkatnya kesadaran akan dampak dan implikasi gaya hidup tercela dan pola konsumsi yang keliru terhadap lingkungan. Dalam menyongsong gaya hidup dan pola konsumsi yang lebih sehat dan bertanggung jawab, konsumen dunia yang terbuka matanya menggunakan kekuatan mereka untuk membeli atau memboikot produk dan jasa tertentu—yakni “mengadu suara” dengan dengan dompet dan kantong mereka—demi lingkungan.
Panggung dunia ditata menyambut bangkitnya masyarakat konsumen, tempat mereka mengonsumsi produk dan jasa yang tidak hanya didasarkan pada kriteria konvensional seperi harga, kualitas, umur pakai, kinerja (performance), dan pelayanan purna-jual, melainkan juga pada:
1. Etiskah? (Apakah produsen terlibat dalam praktek bisnis yang mengeksploitasi tatanan hukum, sosial, dan lingkungan negara lain, dibandingkan dengan di negara asal produsen? Apakah mereka terlibat dalam malpraktek seperti tindak korupsi dan penyuapan?)
2. Selaraskan dengan ekologi? (Apakah produsen peduli dengan lingkungan atau membahayakan lingkungankah produk atau jasa mereka?)
3. Adilkah? (Apakah produsen memperhitungkan tradisi dan kehidupan ekonomi masy setempat dan sektor-sektor masyarakat yang rentan?)
Dalam kaitan inilah, konsumen hijau atau konsumsi dengan kesadaran lingkungan melibatkan seluruh individu dan aksi konsumen kolektif untuk membangun masyarakat berlingkungan sehat dan berkesinambungan. Dalam prakteknya, konsumen hijau menggunakan pedoman-pedoman lingkungan untuk menghindari kategori-kategori produk dan jasa sebagai berikut:
• Membahayakan kualitas lingkungan atau keselamatan konsumen lain.
• Menyebabkan degradasi lingkungan selama berlangsungnuya eksploitasi sumber-sumber daya alam (yang bertindak sebagai bahan mentah dan sumber) ketika diproduksi, dipakai, atau dibuang.
• Menggunakan sejumlah besar energi untuk memproduksi, menggunakan, atau membuang.
• Menimbulkan limbah yang tidak perlu, baik karena kemasan yang berlebihan atau umur pakai yang pendek.
• Menggunakan bahan-bahan yang berasal dari jenis-jenis yang terancam punah atau lingkungan yang juga terancam.
• Mempengaruhi negara atau komunitas lain terutama di negara-negara Selatan.
Konsumen hijau, karenanya, mendukung sebuah “konsumsi hati-hati” yang memanfaatkan kekuatan pasar untuk mengendalikan produk-produk dan jasa yang merusak lingkungan. Dengan menggunakan hak mereka untuk membeli atau memboikot, terutama bila dikerjakan secara kolektif, konsumen hijau dapat mempengaruhi karakter produk yang tersedia di pasar maupun cara-cara produk tersebut dibuat.
Untuk menanggapi meningkatnya gelombang konsumen hijau, kita dapat menjumpai panduan belanja menuju lingkungan yang lebih baik. Katalog-katalog yang berisi nasehat dan membantu konsumen hijau memilih produk-produk yang bersahabat dengan lingkungan. Demikian juga dengan jasa dan para produsen. Beberapa cerita menjadi saksi suksesnya konsumen hijau di pasar, termasuk dalam mempengaruhi praktek dagang perusahaan-perusahaan transnasional dan rantai-rantai supermarket.
Perlu dicatat, konsumen hijau tidak membatasi diri hanya pada karakter produk akhir, tapi juga seluruh daur produk tersebut yang memperhitungkan biaya lingkungan dan konsekuensi eksploitasi produk dan bahan mentah, pembuatannya, efisiensi energi, daur ulang, penggunaan ulang, umur pakai, pembuangan air, praktek perdagangan, dan sebagainya.
Mudah dimengerti, adanya permintaan yang melonjak akan produk-produk yang bersahabat dengan lingkungan telah mendorong industri untuk mengembangkan beragam strategi pemasaran dan promosi meliputi iklan hijau dan ecolabelling untuk produk dan jasa yang dicap sebagai “hijau”, “alamiah”, atau “bersahabat dengan lingkungan”.
Pada saat konsumen hijau bermaksud baik, dan telah melangkah dalam arah yang benar untuk melaksanakan konsep “berpikir global bertindak lokal” demi lingkungan, bukan berarti tidak ada kekurangan dan timbulnya kecurugaan. Selanjutnya, logika bisnis besar tentu saja menciptakan kebutuhan, melonjakkan konsumsi, dan memaksimalkan keuntungan.
Tapi, perusahaan-perusahaan yang “berwarna hijau” mungkin menjadi atau berpura-pura bahwa tidak mungkin mereka mendorong pengurangan pola konsumsi atau gaya hidup yang lebih sederhana. Dilema ini, membuat gerakan konsumen hijau menghadapi dua tantangan dalam mendidik konsumen. Tidak hanya memilih produk-produk hijau, tapi yang lebih penting adalah bertanya kepada diri sendiri, perlukah membeli produk tertentu, hijau atau tidak hijau.
Bila langkah ini tidak berhasil dicapai, gerakan konsumen hijau akan menjadi rentan terhadap para industrialis yang oportunistik, yang hanya menciptakan citra hijau untuk menarik konsumen hijau yang lugu agar membeli lebih banyak produk yang biasanya disebut hijau.
Bisnis hijau yang tumbuh cepat dan secara komersial menguntungkan, juga ditandai dengan beberapa lubang jebakan dan kekurangan, dari sekedar green live service, green claim, dan praktek-praktek pemasaran hijau yang melanggar hukum.
Konsumen dan kelompok-kelompok konsumen seluruh dunia tengah menghadapi tantangan lingkungan global yang berat dan serius. Kita mempunyai beberapa alasan untuk melibatkan kelompok-kelompok konsumen dalam isu-isu lingkungan. Antara lain, kelompok-kelompok konsumen memberikan sumbangan dalam menentukan kriteria lingkungan untuk uji perbandingan dan evaluasi barang serta jasa. Kata-kata value for environment mulai mulai tampak dalam aktifitas kelompok-kelompok konsumen, seperti juga terlihat dalam sikap dan tingkah laku konsumen secara individu. Konsumen yang miskin, tak berdaya, tersingkir, selalu menanggung degradasi lingkungan, juga harus menebus biaya dan konsekuensi-konsekuensinya. Banyak—jika tidak sebagian besar—masalah-masalah lingkungan berkaitan langsung dengan pola-pola konsumsi, gaya hidup, dan sistem nilai yang tidak seimbang.
Dalam upaya mendukung konsumsi dan gaya hidup yang secara ekologis lebih bertanggung jawab, pada umumnya kelompok konsumen menggunakan dua indikator. Yakni, pertama, perubahan kualitatif pemasukan produk dan jasa yang akan mengurangi polusi lingkungan, penimbunan sampah bahan mentah, dan energi. Kedua, perubahan kuantitatif dalam konsumsi produk dan jasa, terutama di negeri Utara dan di antara kaum elit Selatan, yang tidak pantas untuk diteruskan atau dibenarkan.
Dalam upaya melaksanakan paradigma dan gaya hidup yang lebih adil dalam semua sektor masyarakat, kelompok-kelompom konsumen memegang peranan besar. Tidak hanya dalam peningkatan kesadaran mereka, mendorong aksi konsumen dan advokasi tindakan hukum, tetapi juga dalam memantau dan mengendalikan kemungkinan penyalahgunaan slogan-slogan lingkungan, ecolabelling, iklan hijau, dan seterusnya.

*) Tulisan Ir. Erna Witoelar (mantan Ketua YLKI dan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah pada kabinet Presiden Abdurrahman Wahid) menjelang Global Forum (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil, 4 Juni 1992, dikutip dari Warta Konsumen No. 217 April/Mei 1992.

No comments: