Gerakan Konsumen Hijau di Indonesia

(Arimbi H.P)


Pendahuluan
Sudah sejak lama produsen dan industri—baik di negara maju maupun negara berkembang—tidak memperhitungkan lingkungan sebagai salah satu faktor dari proses produksinya. Air, udara, tanah, hutan, tambang dianggap sebagai anugerah yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya tanpa perlu memikirkan usaha melanggengkannya. Akibatnya, tekanan terhadap lingkungan menjadi besar dan mempengaruhi keseimbangan alam. Bencana alam, perubahan iklim, pemanasan global dan pencemaran merupakan harga yang harus ditanggung masyarakat dari aktivitas industri di atas.
Kesadaran bahwa lingkungan harus pula dihargai mencuat sejak diperkenalkannya Environmental Impact Assessment (EIA) di Amerika sekitar tahun 1970-an, yang mewajibkan dimasukkannya perhitungan atas lingkungan bagi setiap rencana kegiatan yang diperkirakan berdampak besar (adverse impact) terhadap lingkungan. Konsep menginternalkan harga (cost) lingkungan dalam suatu produksi dilanjuti pula dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di tahun 1987. Di Indonesia, kedua konsep di atas terinternalisasi dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan.

Gerakan Konsumen Hijau
Ketika kedua hal di atas masih menjadi konsumsi dan perdebatan elite bagi para birokrat dan kelompok ilmuwan, eksploitasi atas alam oleh manusia yang berdampak hebat tetap terus berlanjut. Masyarakat umum banyak tergugah, baik karena kegiatan eksploitasi itu berdampak langsung atas penghidupan mereka yang hidupnya melulu tergantung pada alam (seperti nelayan dan pengumpul madu atau damar) maupun atas usaha sekelompok masyarakat seperti NGO (Non-Government Organization) yang terus menyuarakan kepedulian mereka atas lingkungan. Lambat laun, konsumen lebih selektif untuk mengkonsumsi produk-produk yang tidak ramah lingkungan (environmentally friendly).
Perubahan sikap masyarakat ini memaksa industri memasukkan harga lingkungan dalam proses produksinya agar pasar mereka tetap ada, atau setidaknya berusaha untuk tampak “hijau” di mata masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat mulai menentukan dalam suatu proses produksi.
Kekuatan menawar (bargain power) masyarakat mulai meningkat. Hasil survey dari Gallup International Institute yang diadakan di 22 negara di dunia pada tahun 1992 membuktikan hal itu. Dewasa ini, masyarakat cenderung mau membayar lebih atas suatu produk asal mereka teryakini bahwa benar produk itu ramah lingkungan. Uniknya, keinginan itu tidak hanya melulu monopoli masyarakat di negara kaya yang relatif mapan, tetapi juga di negara berkembang dan miskin. Hasil survey itu membuktikan pula bahwa mayoritas masyarakat di 20 negara (dari 22 negara yang disurvey) setuju untuk dilakukannya perlindungan lingkungan walaupun beresiko adanya penurunan atas laju pertumbuhan ekonomi.

Syarat Utama Gerakan Konsumen Hijau
Agar gerakan konsumen hijau ini dapat berjalan baik, setidaknya diperlukan dua syarat mutlak bagi masyarakat, yaitu terinformasi dan terorganisir.

1. Terinformasi
Masyarakat harus paham betul apakah barang yang (akan) mereka beli merupakan produk dari industri yang berwawasan lingkungan. Itu bisa dimulai dari sejak bahan jadi dan bahkan sarnpai ketika dilempar ke masyarakat.
Beberapa industri kosmetik sudah berani berpromosi bahwa produknya tidak diuji-cobakan kepada binatang (free animals testing) dan sebuah industri minuman menyatakan mau bertanggung jawab atas botol-botol plastik dari produksinya. Perusahaan harus bersifat transparan bahwa dalam proses produksinya memang ada jaminan untuk tidak merusak lingkungan.
Gerakan masyarakat di atas baru dapat berkembang subur jika masyarakat mempunyai banyak pilihan atas suatu produk tertentu. Jika produk X dianggap tidak berwawasan lingkungan dalam proses produksinya, maka masyarakat akan beralih ke produk Y yang dianggap ramah lingkungan. Dengan kata lain suasana monopoli dalam suatu lapangan produksi tidak mendorong timbulnya gerakan konsumen hijau.

2. Terorganisir
Untuk memperkuat posisi masyarakat untuk melakukan penyelidikan, riset, penuntutan, dan lobi kebijakan, diperlukan masyarakat yang terorganisir. Contohnya masyarakat di Dukuh Tapak, Jawa Tengah. Sudah 15 tahun lebih masyarakat Dukuh Tapak menderita karena pencemaran yang dilakukan oleh pabrik-pabrik di sekitar pemukiman mereka. Tetapi usaha-usaha masyarakat untuk memperbaiki nasibnya mentok di tengah jalan karena tidak adanya pengorganisasian yang rapi.
Masyarakat mendapat kekuatannya ketika beberapa NGO mengancam akan memboikot produk-produk yang dianggap mencemari itu. Ancaman ini tidak bisa dianggap angin lalu, karena NGO-NGO tersebut merupakan masyarakat yang teroganisir dan mampu menyuarakan aspirasinya sampai tingkat nasional, bahkan level internasional. Enam bulan sesudah ancaman itu dikeluarkan, pihak pencemar setuju untuk membayar ganti rugi ke masyarakat lokal dan mengeluarkan biaya pemulihan atas lingkungan yang dicemari.

Kesimpulan
Gerakan konsumen hijau ini menguntungkan bagi masyarakat luas karena memaksa pihak industri untuk transparan dan bertanggung jawab atas produk-produknya. Masyarakat diuntungkan pula karena punya banyak pilihan atas produk-produk yang ditawarkan. Bagi penyelamatan lingkungan, gerakan ini memaksa pula agar eksplotasi atas lingkungan dilakukan secara lebih terarah dan bertanggung jawab sehingga dapat mengerem laju perusakan alam yang pada akhirnya nanti akan berdampak pada manusia. Bagi industri, gerakan ini pun berdampak positif karena akan membuka kompetisi yang sehat di antara mereka serta ada jaminan bahan baku yang cukup karena telah adanya perhitungan biaya lingkungan.
Di Indonesia, gerakan ini baru saja tumbuh dan belum menjadi gerakan besar. Kendala utama adalah kurangnya akses atas informasi dan masih adanya sistem monopoli. Tetapi, trend ke depan, konsumen hijau akan menjadi salah satu faktor utama dalam perlindungan lingkungan dan masyarakat umum, apalagi kesadaran lingkungan di Indonesia sudah semakin berkembang dan akan terus meningkat di masa mendatang.

Bahan bacaan
1. George H. Gallup International Institute, "The Health of the Planet Survey", 1992
2. Glaeser, Bernhard, "Kebijakan Lingkungan Hidup", Friedrich Ebert Stiftung (FES), Jakarta, 1989
3. 0' Riordan, Timothy, "Environmentalism", Pion, London, 1981
4. Pearce, David et.al., "Blueprint for a Green Economy", Earthscan Publication Ltd., London, 1989
5. Varshney, C.K., dan D.R. Sardesai, "Environmental Challenge", Wiley Eastern Limited, New Delhi, 1993

No comments: