Hak Konsumen dalam Pelayanan Kesehatan


Hidup sehat merupakan kebutuhan utama (primer) setiap orang. Oleh karenanya, hak atas pelayanan kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Dalam hal ini, pemerintah dan praktisi kesehatan masyarakat bertanggung jawab untuk berupaya merealisasikan adanya kebijakan yang lebih baik, sistem yang berkualitas, dana yang cukup, fasilitas dan tenaga medis yang memadai guna menjamin terlaksananya program kesehatan masyarakat.
Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama antara pengguna jasa pelayanan dan petugas kesehatan. Artinya, kritik, complain maupun keluhan konsumen semestinya tidak diartikan sebagai serangan, tetapi diterima sebagai koreksi terhadap cara berpikir dan cara melayani konsumen. Dari keluhan konsumen, petugas kesehatan dapat mengetahui keinginan konsumen dan kekurangan yang dimilikinya. Namun, kondisi ini harus disertai pula dengan perbaikan pada aspek kebijakan dan manajemen. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa kondisi yang tampak dalam pelayanan kesehatan.
1. Fasilitas kesehatan (formal) yang tersedia masih relatif baru, dan belum mengakar atau belum dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi tidak tersedia standar quality of care yang berbasis konsumen. Sebaliknya, masyarakat memiliki sistem pengobatan atau pengetahuan mengenai perawatan kesehatan (biomedis), yang relatif berakar dari tradisi dan kebudayaan mereka. Kondisi budaya ini di satu sisi menjadi kendala dalam pelayanan medis, di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara murah dan mudah.
2. Kecenderungan perilaku para praktisi medis yang tidak mempertimbangkan proses-proses komunikasi atau pertukaran informasi, dan interaksi sosial yang saling menguntungkan. Rosalia Sciortino dalam “Menuju Kesehatan Madani” (1999:78) menyebut adanya “konstruksi rahasia” yang dipertahankan petugas kesehatan.
3. Pada umumnya konsumen sebagai pengguna jasa kesehatan seperti pasien, klien tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Artinya, seorang pasien berhak untuk mempertanyakan pelayanan dokter yang dirasakannya tidak jelas, bahkan memberatkan konsumen itu sendiri.

Memahami Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan kelompok konsumen, pertanyaan yang sering muncul adalah apa saja hak-hak konsumen dalam pelayanan kesehatan, bagaimana sebaiknya pelayanan yang berkualitas?
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa istilah konsumen dalam pelayanan kesehatan mencakup pengertian mereka yang menerima pelayanan jasa maupun obat-obatan dari petugas kesehatan (paramedis, bidan, dokter), yang secara khusus disebut klien, pasien. Sedangkan yang dimaksud pelayanan yang berkualitas biasanya mengacu pada pengertian Quality of Care atau standar pelayanan yang berkualitas, yakni pelayanan yang menghormati hak-hak konsumen.
Setiap konsumen memiliki hak yang dilindungi undang-undang. Sebagai pasien, konsumen berhak:
  1. Mendapatkan informasi yang dapat dipahaminya mengenai penyakit yang diderita, cara pengobatan, prosedur perawatan, efek samping pengobatan, kelebihan maupun kekurangan pengobatan, biaya, pendapat dari petugas kesehatan lainnya, hal-hal dirahasiakan, catatan medis petugas kesehatan, dan izin persetujuan pasien bila ingin akan dioperasi.
  2. Memperoleh rasa aman dari semua proses pelayanan, dan jaminan keamanan/keselamatannya.
  3. Mendapatkan ganti rugi apabila terjadi malpraktek yang dilakukan petugas kesehatan. Contoh aktual adalah bayi yang dilahirkan cacat (tanpa tangan) di RSUD Bayu Asih Purwakarta (Kompas, 26 Juni 1997). Orang tua bayi itu menuduh pihak RS, dalam hal ini bidan, karena kecerobohan dalam pelayanannya, telah menyebabkan anak mereka cacat seumur hidup. Kasus ini kemudian dibawa ke pengadilan dengan tuntutan 1 milyar rupiah, meskipun akhirnya ditempuh jalan damai dengan ganti rugi 25 juta rupiah.
  4. Memilih tempat pelayanan yang diinginkannya, membatalkan persetujuan sewaktu-waktu, dan jika dianggap perlu, ia menolak suatu metode pengobatan atau tindakan medis tertentu.
Sebagai pasien, konsumen memiliki kewajiban, yaitu:
(1) Mengetahui sejarah atau riwayat pengobatannya;
(2) Menepati janji dengan petugas kesehatan;
(3) Bersedia bekerja sama dan mematuhi perawatan yang diberikan;
(4) Memberitahu petugas kesehatan jika ia menerima perawatan dari dokter yang lain;
(5) Jika menggunakan jasa asuransi, ia berkewajiban mengetahui apa yang dapat atau tidak dapat diatasi oleh perusahaan asuransi.
Kebanyakan konsumen juga petugas kesehatan tidak mengetahui hak-hak dan kewajiban konsumen. Hanya sebagian kecil konsumen menyadari hak-haknya, tetapi tidak merasa percaya diri untuk mengemukakannya di tenpat pemeriksaan. Sebaliknya, petugas kesehatan yang mengerti hak-hak konsumen tidak mau peduli. Banyak alasan yang seringkali dikemukakan, misalnya keterbatasan petugas dan fasilitas tidak memadai, yang tidak seimbang dengan banyaknya pasien yang berkunjung setiap hari kerja. Bahkan petugas kesehatan menyadari bahwa masyarakat tidak mengerti cara hidup sehat, tidak disiplin, dan seterusnya. Padahal masyarakat tidak pernah belajar di sekolah kesehatan.
Dari persoalan ini sebenarnya tuntutan akan pelayanan kesehatan yang memuaskan (berkualitas) semakin kompleks. Namun harus diyakini bahwa ukuran kepuasan tidak bisa bertolak dari kepentingan individu saja karena kepuasan individual tidak ada batasnya. Ukuran standar yang bisa dijadikan pedoman adalah kebutuhan orang banyak yang selama ini sudah dibakukan, misalnya oleh IPPF (International Planned Parenthood Federation), organisasi KB dunia, yang merumuskan 10 hak-hak klien KB antara lain: hak atas informasi, menentukan pilihan, mendapatkan pelayanan kapan dan dimana saja (akses), hak atas keamanan, kenyamanan, kerahasiaan, hak mengajukan protes (berpendapat), dan kemudian ditambahkan oleh YLKI dan PKBI; hak ganti rugi. Oleh sebab itu, proses pencapaian pelayanan yang memuaskan tidak bisa tidak melibatkan orang banyak. Konsumen dan pengelola pelayanan kesehatan bisa bersama-sama merumuskan standar pelayanan yang berkualitas (quality of care), di tingkat desa sekalipun.

Bertolak dari “Quality of Care”
Konsep quality of care adalah istilah yang digunakan secara luas dalam pelayanan kesehatan, yang dapat dipandang dari provider (penyedia jasa) dan klien (konsumen). Dari sisi provider, standar quality of care di Indonesia belum jelas. Konsep ini biasanya dirujuk pada prinsip-prinsip manajemen pengawasan kualitas terhadap fasilitas pelayanan kesehatan umum, yakni penyediaan pelayanan kesehatan yang terus menerus memperbaiki diri dengan memperhatikan kebutuhan dan tuntutan pasien, dokter, petugas, dan komunitas setempat. Dasarnya adalah “problem solving”, yaitu pemantauan masalah dan mencari jalan keluar dengan memperbaiki akar masalah secara berkelanjutan (The Population Council, 1994).
Dari sisi klien, ukuran standar pelayanan cukup jelas, yakni mengacu pada pemenuhan hak-hak pasien, atau hak-hak klien kesehatan reproduksi, atau pun hak-hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam UUPK No. 8 No. 1999, Pasal 4.
Ukuran pencapaian pelayanan kesehatan selama ini lebih berorientasi pada pencapaian target sarana pelayanan dan penerima layanannya. Gejala seperti ini terutama terjadi di tingkat pelayanan kesehatan dasar di pedesaan, dan pinggiran kota. Aspek pemenuhan kualitas kesehatan, tanggung jawab sosial, dan pembelajaran kesehatan bagi pengguna (konsumen) terabaikan. Konsumen tidak memperoleh manfaat yang optimal dari pelayanan kesehatan.
Pada tahun 1990, Judith Bruce dari Population Council menempatkan enam elemen dasar yang kemudian dikenal dengan “Bruce Framework” dan menjadi sumber utama bagi penelitian mengenai kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi dari sisi tenaga kesehatan.
  1. Pilihan terhadap Metode Layanan. Setiap metode layanan (KB) tersedia bagi perempuan dan laki-laki yang ingin merencanakan keluarganya.
  2. Informasi untuk Klien. Informasi yang berkualitas dapat berdampak pada bagaimana klien menggunakan metode kontrasepsi. Informasi yang diberikan harus berisi pula informasi mengenai tiap metode, cara penggunaan metode, dan efek sampingnya.
  3. Keterampilan Teknis. Mempertahankan kondisi aseptic, menjalankan protokol (aturan) dan staf yang kompeten melakukan teknis klinik.
  4. Hubungan Antarpribadi. Bagaimana klien berinteraksi dengan tenaga kesehatan, apakah cukup simpatik dan cukup waktu untuk bertemu dengan kliennya.
  5. Mekanisme untuk Mendorong Keberlanjutan. Klien dapat didorong meneruskan penggunaan kontrasepsi yang efektif melalui berbagai cara, termasuk kartu untuk mengingatkan dan kunjungan rumah.
  6. Pelayanan yang Terpadu. Klien memerlukan pelayanan yang nyaman dan terpadu. Misalnya, pelayanan KB terpadu dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan pasca persalinan, dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.
  7. Jadi, strategi dasar yang penting dilakukan aktifis organisasi konsumen yang melakukan pendampingan konsumen kesehatan adalah dengan memperkuat pengorganisasian dan pendidikan kritis bagi kelompok-kelompok konsumen yang rentan seperti petani, perempuan, buruh dan kaum miskin kota. Pendamping atau organsizer bersama kelompok konsumen merumuskan:
(1) Masalah dan akar masalah,
(2) Bentuk-bentuk kasus yang dialami konsumen,
(3) Instansi dan orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab,
(4) Inisiatif konsumen sendiri dalam mengatasi masalahnya,
(5) Usaha (aksi-aksi) bersama menggugat petugas kesehatan di tempat pelayanan,
(6) Usulan, konsep, cara pandang konsumen terhadap pelayanan yang diinginkan atau pelayanan yang berkualitas (quality of care versi konsumen),
(7) Penyebarluasan informasi terus-menerus kepada konsumen yang lain.
Mengingat gerakan konsumen saat ini didukung oleh kebijakan yang relatif jelas dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka organisasi konsumen dapat mengambil peran dengan melakukan advokasi kebijakan dan pembelaan hukum. Bukan hal yang mustahil, bila suatu waktu konsumen dapat mengadili provider pelayanan kesehatan atas dasar pelanggaran terhadap hak-hak konsumen secara perorangan atau pun berkelompok (class-action).

(M. Nawir, YLK Sulsel, Maret 2000)

No comments: