Perjalanan Awal Dinar-Dirham di Nusantara (2000)


Sekilas Sejarah Dinar-Dirham di Nusantara
Awal dari perjalanan dinar-dirham di Indonesia dimulai dari 3 orang fuqara shadilliya-darqawiyya yang belajar kepada Shaykh Dr Abdalqadir As-Sufi di Maroko tahun 1999. Sepulang dari pertemuan moussem di Maroko, mereka segera mencetak dan juga mensosialisasikan dinar-dirham, yang dibantu oleh beberapa pihak, ke berbagai daerah di nusantara hingga hari ini (2007). Tidak lupa saya ingin mengingatkan salah satu yang juga gigih mendorong gerakan dinar-dirham ini adalah Pak Adi Sasono yang dengan ketulusan membantu supaya ini berjalan untuk masyarakat luas.
Gerakan dinar-dirham ini dimulai oleh jamaah Murabitun Nusantara yang pada awalnya dimulai di Bandung dan Jakarta oleh dua orang amir, dimana mereka mendirikan ribat-ribat untuk insan agar dapat berkumpul dan mengambil ilmu ini yang dimulai dengan berdzikir dan berkumpul (keep company) serta juga menjalankan amalan faraid lainnya.
Jelas pada awalnya bukan perkara senang dan mudah ketika kami mulai memperkenalkan kembali ilmu dan amal yang berkaitan dengan dinar-dirham (dan kami bersyukur kepada Allah yang mengirim seorang wali zaman ini, dari ujung dunia yaitu Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi untuk menjelaskan hal muamalat secara lengkap, shariat dan-hakikat). Di awalnya kebanyakan praktisi ekonomi ribawi (juga perbankan syariah dan asuransi syariah) mencibir dan malah bingung dengan dinar-dirham, sedangkan yang Anda lihat sekarang ini pada tahun 2007 dan ke depan mulai banyak orang memakai dan membicarakan dinar-dirham, dan sebagian dari orang-orang yang tadinya skeptis mulai mengerti sedikit-sedikit tentang dinar (mudah-mudahan ke depan orang-orang ini jadi mengerti keseluruhan amal dan bangunan muamalat ini secara utuh). Sekarang mari kita tengok sedikit perjalalan awal kembalinya dinar-dirham.

Perjalanan Awal Dinar-Dirham
1992, Granada, Spanyol. Dinar-dirham pertama dicetak kembali oleh Islamic Mint Spanyol di bawah kewenangan World Islamic Trade Organization (WITO), dengan spesifikasi mengikuti standar yang ditetapkan 'Umar ibn al-Khattab, yakni dinar terbuat dari emas 22 karat 4,25 gram dan dirham dari perak sterling (95%) 2.975 gram. Sejak itu dinar-dirham pernah dicetak di Spanyol, Skotlandia, Jerman, Afrika Selatan, Dubai, Indonesia.
1993, Kurtzman menulis dalam bukunya, “The Death of Money” bahwa konsep uang-kertas telah diputarbalikkan ketika Presiden Nixon melepas dolar AS dari emas yang menyokongnya.
Turki. Prof ‘Umar Ibrahim Vadillo, pengagas dan pimpinan WITO, menyajikan dinar-dirham ke hadapan Dr. Necmettin Erbakan yang menduduki kursi perdana menteri setelah Partai Refah menang Desember 1995. Dr. Erbakan lalu menyatakan akan menjadikan dinar emas sebagai mata uang nasional. Dalam sebuah Konferensi Islam di mana Istanbul dan Gubernurnya, Recep Tayyib Erdogan, menjadi tuan rumah, Dr. Erbakan meminta Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi naik ke atas panggung dan mengacungkan dinar ke hadapan warga Istanbul. Aula konferensi serentak menjadi semarak dengan tepukan membahana dan seruan takbir. Sayang, momen itu tak berlangsung lama. Juni 1997, Dr Erbakan jatuh lewat sebuah kudeta yang digalang militer, dan partai Refah dibubarkan Mahkamah Tinggi Konstitusional, Januari 1998.
1996, Afrika Selatan. Diterbitkan buku “The Return of the Gold Dinar”, disusun oleh ‘Umar Ibrahim Vadillo, oleh penerbit Madinah Press. Buku tersebut memberi penjelasan lengkap, tak hanya mengenai sejarah dinar-dirham namun juga bagaimana uang-kertas mempengaruhi harga-harga.
1996, website pertama www.e-dinar.com, yakni sistem pembayaran elektronik via internet berbasis dinar emas, diluncurkan. Dengan e-dinar ini, segala masalah yang timbul seperti ketidakpraktisan mengirim uang dengan dinar emas dapat diselesaikan.
1998, Universiti Sains Malaysia, Penang. Dinar emas dan dirham perak mulai dibahas dalam International Islamic Political Economy Conference (IIPEC) ke-3 yang diresmikan oleh Tun Daim Zainuddin, yang kemudian menjabat Menteri Keuangan.
1998. Dr Nasir Farid Wasil, Mufti Mesir, menyerukan ekonomi Islam kembali disandarkan kepada emas dan perak, sebagai pengganti dolar Amerika.
30 Oktober 1998, Chicago. Di hadapan American Muslim Social Scientists, Imad-ad-Dean Ahmad dari Minaret of Freedom Institute menyampaikan pesan pentingnya dinar dalam moneter Islam.
Juli 1999, Jakarta. Diadakan seminar bertajuk ”Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter” yang digelar PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dan SEM Institute. Hasil seminar itu telah dibukukan dengan judul yang sama.
2000, Indonesia. Dinar dan dirham dicetak kembali pertama kalinya di Nusantara oleh fuqara shadilliya-darqawiyya (Amir Achmad Adjie, Amir Abbas Firman dan Muqaddem Malik Abdalhaqq) dan dinar-dirham mulai diedarkan melalui Islamic Mint Nusantara. orang-orang ini yang juga bergiat menyebarkan ilmu dan amalnya bagaimana menjalankan dinar-dirham dan keseluruhan banguanannya, melalui ribat-ribat yang aktif di Jakarta dan Bandung.
2000, e-dinar Ltd, sebuah institusi swasta berbadan hukum yang mengoperasikan e-dinar, didirikan di Labuan, Malaysia. Kemudian e-dinar diluncurkan dalam IIPEC ke-4, yang diselenggarakan ISNET-USM dan diresmikan oleh Deputi Perdana Menteri Malaysia. Kini sebanyak 300,000 orang dari 160 negara telah mulai menggunakannya.
25 Juni 2001, Kuala Lumpur. Saat meresmikan Simposium Al-Baraka ke-20 mengenai Ekonomi Islam. Dr Mahathir Mohamad menyatakan digunakannya dinar emas sebagai mata uang Muslim dalam Islamic Trading Block dan sebagai cadangan nasional negara-negara anggota OKI.
Juli 2001, Kuala Lumpur. Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi didampingi ‘Umar Vadillo, CEO e-dinar Ltd., bertemu dengan Dr Mahathir. Kemudian, menjelang penganugerahan gelar doktornya, Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi menyampaikan “Restoration of Fiscal Islam” yang menegaskan dinar emas dan dirham perak perlu kembali digunakan dalam sistem moneter.
November 2001, Dubai. Islamic Mint secara resmi meluncurkan dinar emas dan dirham perak di Uni Emirat Arab, dan khalayak dapat memperolehnya di Thomas Cook Rostamani Exchange Company maupun di Dubai Islamic Bank. Dalam kesempatan itu juga ‘Umar Ibrahim Vadillo menekankan perlunya zakat dibayar dengan dinar.
24 November 2001, Bandung. “Seminar Dinar-Dirham, Solusi Krisis Mata Uang”, diadakan oleh DKM Masjid Unpad, dengan pembicara di antaranya Achmad Iwan Adjie dari Islamic Mint Nusantara dan Zaim Saidi dari PIRAC.
Maret 2002, Kuala Lumpur. Kembali satu berita gembira saat Dr. Mahathir Mohamad menyatakan bahwa Malaysia telah menyediakan mekanisme penggunaan dinar emas dan menjadikannya alat pembayaran dalam perdagangan internasional.
1 Mei 2002, Kuala Lumpur. Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad, kembali menyatakan bahwa Malaysia sedang menjajagi usaha digunakannya dinar emas dalam perdagangan dengan tiga negara Asia Barat, dan Maroko, Libya serta Bahrain telah menyatakan tertarik. Beliau juga mengusulkan digunakannya sistem e-dinar untuk menyiasati perpindahan emas dalam bentuk fisik dalam pembayaran internasional dan dalam hal itu perjanjian bilateral diperlukan.
Akhir Mei 2002, Medan. Yayasan Dinar Dirham menyelenggarakan seminar bertemakan dinar-dirham solusi krisis moneter, dengan pembicara di antaranya Dr. Hakimi, Dr. Zuhaimy, Dr. Abdalhamid Evans, dan O.K. Saidin. Seminar tersebut berhasil menekankan perlunya mekanisme inti yakni suq, qirad dan dinar untuk kembali kepada ekonomi yang sejati, ekonomi yang lebih menitikberatkan pada pasar, qirad, perdagangan, waqaf, paguyuban dan dinar emas.
Agustus 2002, Kuala Lumpur. Dalam seminar “Stable and Just Global Monetary Systems” Mahathir menegaskan digunakannya dinar emas sebagai alat pembayaran dalam perdagangan bilateral antara Malaysia dan negeri lain mulai pertengahan 2003, dan selanjutnya diperluas menjadi perdagangan multilateral. Kemudian penasihat ekonomi perdana menteri, Tan Sri Nor Mohamed Yakcop, menjelaskan mekanisme penggunaan dinar emas melalui perjanjian bilateral dan multilateral.
Oktober 2002. Ketua PIRAC Ir. Zaim Saidi mendirikan Wakala Adina di Jakarta. Sebelumnya, telah berdiri pula Wakala-Islamic Mint Nusantara di Bandung dan Wakala Ribat Jakarta. Fungsi Wakala di antaranya sebagai gerai tukar di mana khalayak dapat berjual-beli, menukar dan menitipkan dinar-dirhamnya. Karena fungsinya sebagai wakil dari pemilik dinar-dirham, maka Wakala tak boleh meminjamkan dinar-dirham maupun memberikan kredit kepada pihak ketiga. Zaim Saidi juga dikenal aktif menulis dinar-dirham di berbagai media dan mengisi berbagai seminar dan diskusi.
2 November 2002, Bandung. Diselenggarakan Semiloka “Dinar dan Dirham sebagai salah satu alternatif Keluar dari Himpitan Krisis”, di Balai Asri Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung. Bertindak sebagai pembicara dalam Semiloka yang diadakan ICMI yakni Dr. Hakimi Ibrahim dari ISNET USM Malaysia, Ketua umum ICMI Adi Sasono, dan pimpinan Islamic Mint Nusantara Amir Achmad Iwan Adjie. Dalam kesempatan itu Adi Sasono mengajak semua pihak menguatkan perekonomian Indonesia supaya tidak bergantung pada negara lain. Salah satunya adalah dengan penggunaan dinar-dirham yang stabilitas nilai mata uangnya terjamin.
22-23 Oktober 2002, Kuala Lumpur. Satu seminar besar lain yang dihadiri negara-negara anggota OKI, yakni “The Gold Dinar in Multilateral Trade”. Dalam seminar itu Bijan Latif, pimpinan Central Bank Iran, mendukung didirikannya sekretariat di Malaysia untuk mengkoordinasikan perkembangan kebijakan dinar emas. Dr. Mahathir Mohamad juga menyatakan untuk kembali kepada perjanjian Bretton Wood di mana mata uang dunia disandarkan kepada emas.
21 November 2002, Jakarta. Seminar “Zakat dan Dinar Sebagai Kekuatan Dimensional Ekonomi Bagi Hasil” diselenggarakan di Auditorium Plasa Mandiri dengan pembicara seperti Revrisond Baswir, Iwan Pontjowinoto, Jefril Khalil, Zaim Saidi, dan Eri Sudewo dan lainnya.
27 November 2002. Dalam satu seminar di Jakarta, ICMI mengusulkan pembayaran haji dengan dinar. ”Saya mengusulkan kenapa kita tidak merintis sesuatu yang lebih radikal dalam konsep syariah dengan membayar ongkos naik haji menggunakan dinar saja,” ujar Adi Sasono. Beliau berpendapat, dengan menggunakan dinar maka spekulasi fluktuasi mata uang ataupun permainan valas dapat dihindari. 22 Desember 2002, bertempat di Gedung MUI Depok, BMT Al Kautsar, Depok, meluncurkan pemakaian dinar dan dirham. Salah satu produk yang dipasarkan dengan dirham adalah air dalam kemasan MQ. Tiap kardus, berisi 48 gelas air kemasan MQ, dijual oleh AL Kautsar dengan harga 1 dirham. “Kami ingin menjadikan dinar dan dirham sebagai mata uang sejati umat Islam,” ujar Ahmad Saifuddin, Ketua Umum BMT Al Kautsar kepada Republika. Dalam acara tersebut hadir pula perwakilan dari Ahad Net yang menyatakan tengah menjajagi pemakaian dinar dan dirham dalam jaringan usahanya.
24 - 26 Januari 2003, Pontianak. Dalam pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI dan Konferensi Nasional Ekonomi Syariah, Wakil Presiden Hamzah Haz mencanangkan sosialisasi penggunaan mata uang dinar dan dirham. Pemasyarakatan penggunaan dinar-dirham, terutama dalam pembayaran zakat, transaksi berskala besar dan internasional, akan melibatkan berbagai lembaga keuangan seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), Dompet Dhuafa Republika, PIRAC, Murabitun Nusantara, Yayasan Dinar-Dirham Medan, Masyarakat Syariah, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), maupun Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk). Seusai menutup Konferensi dan Silaknas, mantan ketua umum ICMI Adi Sasono menyatakan ICMI menyarankan penggunaan mata uang dinar dan dirham secara bertahap dimulai dari tabungan haji, alat pembayaran zakat, mas kawin, tabungan masa depan (beasiswa). ICMI juga menyerukan agar pemerintah berani mengambil kebijakan politik dalam meningkatkan peran dinar dan dirham sebagai cadangan devisa maupun sebagai alat tukar transaksi.
27 Januari 2003, Jakarta. Menurut ketua Departemen Ekonomi ICMI, Sugiharto, ICMI dan sejumlah institusi lain yang tergabung dalam Forum Gerakan Dinar-Dirham Indonesia (Forindo), seperti MUI, Yayasan Dinar-Dirham, PNM, Wakala Adina, Masyarakat Ekonomi Syariah, Asbisindo, dan Forum Zakat Nasional, sedang menyiapkan cetak biru penerapan mata uang dinar dan dirham dalam perekonomian Indonesia.
Januari 2003. Pakar ekonomi dari Universitas Bengkulu (Unib), Prof. Dr. Zulkifli Husin, SE, MSc, menilai penggunaan mata uang dinar dalam perdagangan luar negeri akan menguntungkan perekonomian Indonesia, karena nilainya relatif stabil.
Kini, Dinar-Dirham dicetak secara berkesinambungan oleh Islamic Mint Dubai dan Islamic Mint Nusantara, dan digunakan secara pribadi di 22 negara.
Mulai 2004, Malaysia akan menggunakan dinar emas sebagai alat tukar dalam perdagangan bilateral Malaysia-Iran.

Oleh: Abbas Firman
Source: http://www.islamhariini.org/dinar/dinAR10.htm

Pakai Dinar, Tinggalkan Dolar!

Mata uang emas Dinar dan uang perak Dirham telah mulai digunakan kembali oleh sebagian masyarakat Muslim dan non-Muslim sejak sepuluh tahun terakhir. Jika telah meluas, insya Allah akan menggeser dominasi Dolar.
Kalau Anda seorang pedagang barang atau penjual jasa, jangan heran jika suatu saat ada orang yang menawarkan pembayaran dengan menggunakan uang emas Dinar dan uang perak Dirham. Juga jangan heran jika suatu saat pegawai Anda minta digaji dengan kedua mata uang tersebut.
Memang, Dinar dan Dirham merupakan mata uang zaman dulu. Keduanya lazim digunakan pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup empat belas abad silam. Dinar dan Dirham telah lama hanya menjadi bahan cerita dan kenangan tentang mata uang di masa lampau. Tapi patut diketahui, mata uang tersebut kini telah 'hidup kembali', terutama sejak Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, menyatakan hendak menggunakan Dinar sebagai alat tukar perdagangan negaranya dengan negara-negara Muslim di tahun 2003 mendatang.
Mahathir jelas punya andil besar dalam menghidupkan kembali Dinar , tetapi sesungguhnya dia bukanlah orang pertama yang melakukannya. Sebelum Mahathir mengungkapkan dukungannya terhadap Dinar, bahkan jauh hari sebelum terjadi
krisis moneter yan g melanda negara-negara di Asia, pada 18 Agustus 1991 sebuah komunitas Muslim di Eropa yang bernama 'Murabitun' telah mengeluarkan fatwa tentang 'Larangan Pemakaian Uang Kertas sebagai Alat Tukar'. Mereka kemudian mencetak mata uang emas Dinar serta mata uang perak Dirham sebagai pengganti uang kertas yang telah mereka haramkan.
Pencetakan Dinar dan Dirham pertama kali dilakukan di Granada, Spanyol, tahun 1992. Dari salah satu kota di bekas wilayah kekhalifahan Islam di Andalusia tersebut Dinar dan Dirham kemudian disebar ke 22 negara oleh para jamaah Murabitun. Indonesia tidak ketinggalan, ikut kecipratan dua mata uang tersebut. Bahkan menurut Malik Abdulhaqq Dwito Hermanadi, liaison officer Murabitun Nusantara, sejak 1999 Dinar dan Dirham telah dicetak di Indonesia melalui PT Logam Mulia, sebuah BUMN anak perusahaan PT Aneka Tambang.
Uang emas dan perak itu kemudian disebarluaskan oleh para jamaah Murabitun Nusantara ke berbagai wilayah di Indonesia dan ke luar negeri melalui jaringan Murabitun International. Jumlah yang disebar memang belum begitu banyak. Menurut Malik, sejak dicetak pertama kali oleh PT Logam Mulia hingga kini baru beredar sekitar 1.000 keping uang Dinar dan 3.000 keping uang Dirham. Namun menurut Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Zaim Saidi, jika Dinar dan Dirham sudah dikenal oleh masyarakat luas, kebutuhan terhadap mata uang tersebut akan terus besar, mengingat konsumsi logam mulia masyarakat Indonesia yang cukup lumayan. Berdasar data terakhir, kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia terhadap emas setiap tahunnya tidak kurang dari 25 ton emas. "Itu artinya setara dengan 5,88 juta Dinar," ungkap Zaim.
Saat ini konsumsi emas tersebut sebagian besar memang masih untuk pembuatan perhiasan. Namun jika kesadaran masyarakat sudah semakin meningkat serta infrastruktur pelayanannya sudah tersedia maka bisa diharapkan permintaan emas untuk pembuatan Dinar juga akan semakin meningkat.
Perkiraan tersebut tidak berlebihan mengingat beberapa tahun terakhir masyarakat luas sudah dikenalkan dengan koin emas ONH (Ongkos Naik Haji) yang dikeluarkan oleh PT Pegadaian. Bahkan Pemerintah pernah pula mengeluarkan koin emas peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-50, peringatan 100 tahun Bung Karno serta peringatan 100 tahun Bung Hatta, meski dengan jumlah cetakan yang sangat terbatas. Jadi pemanfaatan Dinar dan Dirham oleh masyarakat luas sesungguhnya tinggal menunggu waktu saja. Tinggal diberi percepatan dengan kampanye yang intensif.

Dinar untuk ONH
Setelah Pemerintah RI melalui PT Pegadaian mencetak koin emas ONH sepatutnya Pemerintah juga menetapkan perhitungan dan pembayaran biaya perjalanan ibadah haji (BPIH, nama baru dari ONH) dengan mata uang emas Dinar. Seperti diketahui, selama ini biaya perjalanan haji menggunakan patokan nilai Dolar, karena untuk bertransaksi dengan Arab Saudi, Pemerintah RI menggunakan Dolar. Sehingga tentu saja yang diuntungkan Amerika.
Dengan jumlah jamaah haji sekitar 200 ribu orang per tahun, sebenarnya Indonesia negara dengan jamaah haji paling banyak punya posisi tawar (bargaining position) yang kuat terhadap pemerintah Arab Saudi. Jika Pemerintah RI menawarkan pembayaran dengan Dinar kepada pemerintah Arab Saudi, kemungkinan besar disetujui. Sebab nilainya begitu besar. Kalau biaya perjalanan haji di tahun ini Rp 25 juta per orang, dan jika harga emas per gram Rp 70.000 maka jika biaya itu dibayar dengan uang emas maka jumlahnya setara dengan 84 Dinar per orang. Untuk seluruh jamaah haji Indonesia nilai transaksinya bisa mencapai 16,8 juta Dinar.
Kalau itu disetujui maka Pemerintah RI tidak perlu menukar Rupiah dengan Dolar terlebih dulu, baru kemudian menyerahkan ke Arab Saudi. Dengan Dinar, Pemerintah Indonesia bisa langsung menyerahkan uangnnya kepada Pemerintaha Arab Saudi. Praktis dan hemat biaya, karena tidak terpotong margin jual beli valuta asing.
Yang menarik, pengguna mata uang Dinar dan Dirham kini tidak terbatas di kalangan Muslim saja. Seperti diceritakan Malik, di kota Norwich, Inggris, komunitas Murabitun di kota itu selama beberapa tahun terakhir kerap mengadakan pasar raya Muslimin di akhir pekan dengan menggunakan alat tukar uang Dirham.
Para pembeli ketika memasuki arena pasar menukarkan uang kertas mereka ke Dirham lalu menggunakan Dirham itu berbelanja. "Tidak hanya kaum Muslimin, orang non-Muslim mempergunakannya di pasar raya itu," kisah Malik. Hal serupa terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab. "Bahkan sejak tahun 2000 pada acara Dubai Shopping Festival yang berlangsung di bandara kota itu para pengunjung Muslimin dan non-Muslim bisa berbelanja berbagai benda dengan menggunakan Dinar dan Dirham," kata Malik.
Di Indonesia sendiri komunitas Murabitun sudah menerapkan pembayaran upah dan gaji dengan Dinar dan Dirham. "Misalnya untuk upah pencetakan buku kami menerima dalam Dinar ," tambah penerjemah buku Sistem Dajal karya Ahmad Thomson itu. Begitu juga beberapa perjanjian qirad dengan teman-temannya di Malaysia sudah dilakukan dalam hitungan Dinar .
Tanpa diketahui banyak orang, ternyata Dompet Dhuafa (DD) sudah menerima pembayaran zakat sejak awal berdirinya di tahun 1993. Kini tengah mempersiapkan kampanye berzakat dengan Dinar dan Dirham yang akan digelar tahun depan. Sementara persiapan berlangsung DD juga tengah mencoba untuk menggaji karyawannya dengan Dinar.
Zaim Saidi, sebagai salah seorang aktivis LSM yang paling lantang mengkampanyekan Dinar dan Dirham juga tak mau kalah konsekuen. Dalam berrmuamalah sehari-ia hari kerap mengajak orang menerapkan Dinar. Misalnya tatkala ia menerima honor seminar, Zaim meminta dibayar dengan Dinar. Begitu juga jika PIRAC menyelenggarakan seminar, para pembicaranya ditawari apakah hendak dibayar dengan Dinar atau Rupiah.
Melihat berbagai kemajuan itu, Malik mengungkapkan rasa optimisnya bahwa masyarakat yang menerapkan Dinar dan Dirham akan terus bertambah. "Jadi walaupun masih dalam jumlah kecil dan terbatas--bukan saja di komunitas Murabitun--telah terbentang arena-arena dimana Dinar dan Dirham berfungsi sebagaimana ditegaskan dalam sunnah masyarakat Islam awal Madinah," kata Malik kepada Suara Hidayatullah.

Wakala
Di samping sosialisasi yang harus digencarkan, menurut Zaim Saidi, perlu juga disediakan infrastrukturnya, antara lain berupa gerai penukaran uang Dinar (money changer) dan wakala, yakni lembaga penitipan uang Dinar dan Dirham serta penyedia jasa transfer. Di lembaga itu orang bisa menitipkan uang Dinar dan Dirhamnya sekaligus dapat mentransfernya ke wakala lain. "Dengan demikian jika kita mempunyai rekan bisnis di luar negeri kita tinggal menyetor dinar ke wakala, lalu wakala itu mentransfer uang dinarnya ke rekan bisnis di luar negeri melalui wakala setempat. Prakteknya seperti kartu debet," jelas Zaim.
Jasa transfer demikian kerap disebut sebagai digital gold currency atau sistem pembayaran berbasis dinar emas secara elektronik, via internet (E-Dinar). Menurut Zaim, sistem tersebut kini telah berlangsung secara internasional di bawah pengelolaan e-Dinar Ltd, sebuah lembaga swasta berbadan hukum yang berpusat di Malaysia. Sedangkan secara fisik emasnya disimpan di bawah penjagaan Transguard Storage Company di Dubai.
Masih menurut Zaim, sejak mulai didirikan dan dioperasikan tahun 1997, e-Dinar kini telah mencatat lebih dari 300 ribu pemegang rekening Dinar, tersebar di lebih dari 160 negara, termasuk Indonesia. Bahkan menurut Malik, jika digabung dengan pengguna e-Gold, pemegang rekeningnya telah berjumlah 700 ribu orang. Perkembangan ini boleh dibilang di luar dugaan, karena target awal pemegang rekening e-Dinar, sekitar lima tahun lalu, dipatok hanya 10 ribu orang. Karena itu diperkirakan pada tahun mendatang perkembangannya akan kian pesat.
Dengan perkembangan teknologi transfer digital tersebut, maka kekhawatiran sebagian orang tentang ketidakpraktisan membawa serta menyimpan Dinar dan Dirham akan terpatahkan. "Misalnya Pak Ali pergi ke London dari Jakarta. Di London ia ingin mengambil Dinar-nya, maka dengan mudah ia cukup berkunjung ke salah satu wakala di Mesjid London, lalu memanfaatkan internet di situ (atau pun lewat telpon gengamnya) memindahkan e-Dinar nya ke rekening wakala itu dan mengambil Dinar fisikal sebagai tukarannya. Mudah, murah, aman, dan cepat. Biaya transfer antar rekening e-Dinar untuk nilai transfer berapapun maksimal adalah 50 sen dolar AS. Waktu transfer maksimal sekitar 10 detik," jelas Malik. Kemudahannya tidak berbeda jauh dari penggunaan mesin ATM di berbagai lembaga perbankan.
"Tapi agak berbeda dengan bisnis perbankan, uang yang disimpan di wakala tidak berstatus sebagai hutang dari penitip kepada wakala, tetapi sekedar harta titipan yang dapat diambil kapan saja dalam bentuk uang emas. Karena statusnya itu uang titipan itu tidak boleh dipinjamkan kepada pihak ketiga. Wakala mendapatkan keuntungan semata dari uang jasa penitipan dan jasa transfer. Begitu ada orang yang mau membuka usaha demikian maka kemudian program ini bisa jalan," tegas Zaim.
Menurut Malik, Murabitun saat ini baru memilik satu wakala di Bandung yang sudah beroperasi sejak tahun 2000. Empat lainnya akan menyusul di Jakarta, sebuah di Medan, serta sebuah lagi di Yogyakarta. Zaim Saidi bersama PIRAC-nya juga berencana untuk mendirikan sejumlah wakala di Jakarta.
Ada kabar Pesantren Daarut Tauhid telah membuka gerai penukaran uang Dinar dan wakala. Tapi setelah Sahid mengecek langsung ke pesantren asuhan Abdullah Gymnastiar itu di Bandung ternyata belum ada. Salah seorang pengurus pesantren yang ditemui di tempat itu malah mengaku baru mendengar berita tersebut. Mungkin baru dalam rencana.
Jadi, cepat atau lambat berbagai lembaga Islam insya Allah akan ikut serta dalam arus besar menghidupkan kembali kejayaan Dinar dan Dirham. Ketua Ketua Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) KH Kholil Ridwan misalnya, menurut Zaim telah menunjukkan minatnya terhadap usaha ini. "Beliau sudah mengundang kami ke Bogor untuk membicarakan usaha ini," katanya.

Tantangan
Sesuai hukum aksi-reaksi, seiring dengan usaha menghidupkan kembali Dinar dan Dirham, tentu akan ada usaha untuk merintanginya, yakni mereka yang kepentingannya akan terganggu oleh kehadiran uang emas dan perak. Mereka adalah sebuah kekuatan yang tersistem dan mapan, yang terutama terdiri dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan besar dari sistem riba. Lebih khusus lagi mereka adalah para spekulan yang menumpuk kekayaan dari perdagangan maya di pasar uang.
Seorang bernama Jay Taylon, ungkap Zaim Saidi, pernah menulis artikel yang disebarluaskan lewat internet yang mengingatkan pada masyarakat bahwa Dinar adalah "Islamic Bomb" yang sesungguhnya dan bukan bom nuklir yang dibuat oleh Pakistan. Kemudian Necmettin Erbakan segera dijungkalkan dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Turki oleh militer negara sekuler itu setelah ia mulai mengkampanyekan dinar sebagai alternatif pembayaran internasional.
Namun sebesar apapun usaha mereka untuk merintangi penghidupan kembali Dinar dan Dirham, kita sebagai ummat Islam harus tetap terus memperjuangkannya. Sebab fenomena ekonomi dunia yang kita hadapi sekarang justru kian jelas menunjukkan keunggulan uang emas dan perak serta sebaliknya menunjukkan kian lemahnya kekuatan uang kertas.
Uang kertas, terutama Dolar, sekarang ini nampak seperti sedang jaya-jayanya, terus membesar dan meraksasa. Namun di balik itu sebenarnya uang kertas sedang dalam keadaan menggelembung untuk suatu saat meledak.
Itulah sebabnya orang seperti Umar Ibrahim Vadillo telah mengeluarkan fatwa untuk segera meninggalkan uang kertas, terutama Dolar. Menurutnya dunia kini dibanjiri terlalu banyak Dolar. Di pasar uang dunia kini transaksi Dolar telah mencapai angka 800 trilyun Dolar AS per tahun. Sementara nilai perdagangan dunia yang merupakan sektor nil 'hanya' 4 trilyun Dolar AS per tahun. Artinya, transaksi di pasar uang itu besarnya 20 kali lipat nilai transaksi perdagangan sektor riil.
Kondisi demikian jelas mencemaskan, karena transaksi di pasar uang sesungguhnya bersifat maya, karena tidak ada barang yang diperdagangkan, kecuali uang itu sendiri. Fenomena itu kerap disebut ekonomi gelembung (bubble economy), karena nilainya yang begitu besar, tapi pada hakekatnya tidak ada barang riil yang diperdagangkan. Karena itu kita tinggal menantikan saatnya gelembung uang itu meledak, lalu meruntuhkan ekonomi global.
Pemerintah Malaysia telah memahami bahaya yanag akan muncul setelah gelembung Dolar itu meledak. Sehingga mereka sangat komit pada upaya penerapan Dinar dan Dirham. Namun sejauh ini Pemerintah Indonesia belum menampakkan kepedulian terhadap mata uang emas dan perak itu. "Jangankan mendukung, peduli saja belum. Sebab Pemerintah Indonesia tidak punya visi dan misi," kata Zaim Saidi.
Sikap yang seperti itu jelas terasa aneh, karena dampak akibat krisis moneter yang dialami Indonesia jelas lebih parah daripada yang dialami Malaysia. Sehingga seharusnya Indonesia lebih peduli dan antusias menggunakan Dinar untuk mengantisipasi dari krisis yang mungkin akan datang lagi.
Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang bertugas mengendalikan peredaran uang di Indonesia sementara ini baru sampai pada tahap mengkaji Dinar. Seperti dikatakan Kepala Biro Perbankan Syariah BI, Harisman kepada Republika (22/8/02), bulan Agustus silam ia telah mengirim seorang stafnya untuk mengikuti seminar tentang Dinar di Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun kepada Sahid, Zaim Saidi mengaku tidak yakin BI akan mendukung penerapan Dinar di Indonesia. "Selama BI masih mengelola sistem riba maka mereka tidak akan mendukung penerapan Dinar dan Dirham," kata Ketua PIRAC itu di kantornya.
Tantangan lainnya mungkin berupa semacam efek hambatan psikologis bagi kalangan non-Muslim yang menanggap Dinar dan Dirham uang khusus ummat Islam. Hambatan psikologis demikian bisa dihilangkan dengan mengingatkan sejarah Dinar yang berasal dari Kerajaan Bizantium yang raja dan masyarakatnya waktu itu meyoritas beragama Nasrani serta sejarah Dirham yang berasal dari Persia, yang raja dan rakyatnya waktu itu kebanyakan beragama Majusi. Jika ada hambatan seperti itu Adiwarman Karim melalui Gamma mengusulkan penggunaan istilah selain Dinar. "Enggak usah bilang Dinar. Katakan saja gold money," kata Direktur Karim Institute itu.
Pernyataan Adiwarman ada benarnya. Lepas dari apapun istilahnya, yang penting dapat bertransaksi dengan menggunakan uang emas, bukan uang kertas. Sebab jika menilik sejarah, ummat Islam sejak dahulu sudah biasa bertransaksi menggunakan uang emas dengan pihak non Muslim. Seperti diungkap Andhi Raharjo Eko, pengurus Murabitun di Bandung, uang emas dan perak sangat lazim digunakan dalam perdagangan antar bangsa yang berbeda bahasa dan agamanya.
VOC ketika bertransaksi dengan sultan dan penguasa di Nusantara menggunakan uang emas dan perak. Bangsa kita jual rempah-rempah, dibayar VOC dengan emas dan perak. Sehingga ada keseimbangan, ada kekayaan alam yang dibawa tapi ada kekayaan pula yang masuk. "Maka tidak heran kalau kerajaan-kerajaan di Nusantara hari ini walaupun tidak mempunyai kewenangan hukum, tapi mereka masih punya harta karun berupa emas dan perak yang banyak. Bisa dibayangkan, kalau dulu VOC menggunakan uang kertas, apa masih bisa berlaku untuk saat ini?" tanya Andhi.
Tentu saja tidak. Karenanya, tidak pernah ada harta karun yang berupa uang kertas. Uang yang dicari oleh pemburu harta karun sampai ke dasar laut dan ke perut bumi adalah uang emas dan uang perak. Bukan uang kertas. Sebab uang emas dan perak, meski telah tenggelam di dalam samudra atau terkubur di perut bumi hingga seribu tahun, tetap bernilai mahal. Daya belinya tetap utuh. Seribu tahun yang lalu sekeping uang emas dapat untuk membeli seekor kambing, setelah ditemukan kembali seribu tahun kemudian sekeping uang emas itu tetap laku untuk membeli seekor kambing. Tidak demikian dengan uang kertas. Dalam tempo setahun saja sudah menjadi lusuh. Lalu menjadi tidak laku sama sekali dalam beberapa tahun kemudian. Berbeda sekali.
Kalau begitu, kita perlu ucapkan: "Selamat datang kembali Dinar dan Dirham. Selamat tinggal uang kertas. Selamat tinggal Dolar!"

Oleh: Saiful Hamiwanto
21 Oktober 2003
Source: http://mitglied.lycos.de/rahmats/index.php?mod=1&id=19

Tinggalkan Uang Kertas, Pakailah Dinar


Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Zaim Saidi menjelaskan, untuk meninggalkan sistem riba, maka umat Islam harus menggunakan mata uang emas atau perak dan yang lebih dikenal dinar dan dirham.
Nabi Muhammad S.A.W mengatakan terdapat beberapa alat tukar yakni emas, perak, gandum, kurma, garam. Secara syariah perdagangan menganut prinsip alat tukar yang digunakan adalah seimbang, ikhlas atau suka sama suka. Dengan demikian, katanya, alat tukar yang sesuai dengan syariat atau tuntunan adalah dirham dan dinar yang terbuat dari emas dan perak.
Pengunaan mata uang tersebut akan menanggulangi masalah inflasi karena mata uang yang digunakan mempunyai nilai yang tetap dan hal ini berbeda dengan penggunaan uang kertas.
’’Yang naik adalah bukan barang atau objeknya, namun disebabkan menurunnya nilai uang tersebut,’’ ujarnya dalam pelatihan tentang waqaf di Nagoya Plaza (4/6).
Zaim mencontohkan, dari zaman Rasulullah hingga saat ini harga satu ekor kambing adalah satu dinar. Dan hingga saat ini harganya pun satu dinar atau setara dengan Rp1,2 juta.
Hal ini disebabkan nilai mata uang kertas yang terus menurun. Dan ini berbeda dengan mata uang dinar yang nilainya stabil jika dibandingkan dengan nilai mata uang lainnya seperti kertas.
Salah seorang pemikir Islam, Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu. Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak (perlu) menerbitkan uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Dan sebagai alat tukar nilai, uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan, artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan. (***)

4 Juni 2008, oleh Aries Kurniawan
Source: http://ariesaja.wordpress.com

Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan, dimana pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan: (1) syari'at (dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti sholat, zakat dll); (2) tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; (3) hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan (4) ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan di bawahnya ditiadakan.
Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada Allah (kecintaan yang sangat kepada Allah SWT). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'sesat'.
Dalam pupuh-nya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda-beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, Manunggaling Kawula Gusti adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya "). Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan di kala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur'an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.

Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap Muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di Bumi.

Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.

Kisah pada saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.

Pranala luar
(en) Syekh Lemah Abang
(id) Resensi buku : Sufisme Syekh Siti Jenar : Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar
(id) Resensi buku : Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam-Jawa

Source: Wikipedia Indonesia

Monosodium L Glutamate (MSG)

Dahulu, sebagai penyedap makanan, dipakai suatu bahan yang dibuat antara lain dari rumput laut, gandum atau kedelai. Tetapi, karena kurang menguntungkan dan dengan berkembangnya teknologi, Jepang menggantinya dengan suatu proses peragian yang disebut Monosodium L Glutamate, atau biasa disingkat MSG.
Di Indonesia, MSG populer dengan sebutan “vetsin” atau “micin”. Sebagai bubuk penyedap makanan MSG dikenal. Jadi, apabila MSG dicampurkan ke dalam makanan, makanan tersebut menjadi lebih sedap.
Merek-merek yang terdapat di negara-negara Asia antara lain Aji-No-Moto, Ve-Tsin, Sasa, Miwon, Wei Chuan, Vedan dan lain-lain.

Berapa banyak MSG yang masih dapat dipakai sebagai penyedap makanan?
Menurut WHO, takaran pemakaian MSG yang diperbolehkan untuk orang dewasa dan bayi yang berumur lebih dari 12 minggu adalah 120 mg setiap kg berat badan dalam satu hari.
Misalnya:
  • Orang dewasa dengan berat badan 50 kg hanya boleh memakai MSG: 50 X 120 mg = 6 g dalam satu hari.
  • Bayi berumur 4 bulan dengan berat badan 6 kg hanya boleh memakai MSG: 6 X 120 mg = 720 mg = 0,7 g dalam satu hari.

Manfaat penggunaan MSG sebagai penyedap makanan
Selain berfungsi untuk membuat rasa makanan menjadi lebih sedap, MSG tidak mempunyai nilai gizi. Karena itu, tidak ada manfaatnya sama sekali bagi tubuh manusia.
Bahaya penggunaan MSG sebagai penyedap makanan
Pemakaian MSG yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Tapi, khusus untuk orang yang alergi terhadap MSG, pemakaian yang sedikitpun dapt membahayakan. Akibat-akibat yang ditimbulkan karena mengkonsumsi MSG sebagian sudah diketahui oleh para ilmuwan, sebagian lagi masih dalam penelitian. Beberapa akibat yang sudah diketahui antara lain:

Sindrom Restoran Cina
Gejalanya ialah rasa haus, mual, pegal-pegal di daerah tengkuk, sakit dada dan sesak nafas akan muncul 20 sampai 30 menit setelah makan makanan yang dibubuhi MSG dalam jumlah yang berlebihan. Dinamakan demikian karena gejala-gejala itu biasanya didapat setelah makan di restoran Cina. Sindrom Restoran Cina memerlukan perawatan yang khusus karena dapat menimbulkan kematian akibat sesak nafas.

Menyebabkan penyakit kanker
Penelitian terakhir membuktikan bahwa MSG—jika dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi—dapat membentuk bahan yang menyebabkan penyakit kanker (karsinogenik).

Saran kepada produsen MSG
  1. Mencantumkan takaran (aturan pemakaian) MSG sebagai penyedap makanan pada label produknya
  2. Mencantumkan peringatan pada label agar jangan digunakan dalam makanan anak-anak, bayi, wanita hamil dan sedang menyusui
  3. Tidak menggunakan anak-anak dalam iklan produk MSG
  4. Hentikan pemberian hadiah-hadiah yang menarik kepada konsumen pemakai MSG.

Saran kepada konsumen
  1. Sebaiknya uang pembelian MSG digunakan untuk makanan yang lebih bermanfaat bagi kesehatan
  2. Bila memakai MSG sebagai penyedap makanan, sebaiknya dalam jumlah sesedikit mungkin
  3. Jangan mencampurkan MSG ke dalam makanan anak-anak
  4. Ingatlah bahwa dalam makanan lainpun sudah dicampurkan MSG, misalnya kecap, mi, kerupuk, saus dan lain-lain.
Irfan Lubis, dari berbagai sumber

Bahaya Asap Rokok



Kita semua tahu, merokok dekat banget dengan berbagai penyakit menyeramkan. Bahkan kematian. Apakah kita rela mati demi rokok? Amit-amit deh!

  1. Asap rokok mengandung tar dan karbon monoksida. Rokok yang mengandung kadar tar rendah, bukan jaminan rokok itu aman buat kesehatan. Saat menghisap rokok, perokok dan orang-orang di sekitarnya sebenarnya sedang menabung zat-zat karsinogenik yang menunggu waktu untuk berkembang jadi penyakit. Racun rokok dekat dengan kanker saluran napas, bronkhitis, bengek, gangguan jantung, dan stroke.
  2. Kanker akibat rokok baru bisa dirasakan setelah 20-30 tahun merokok. Kalau kebiasaan merokok kita lakukan sejak remaja, kita siap dijemput ajal sekitar usia 50 tahun. Penyebaran penyakit karena dampak rokok menyerang sekitar 250 juta remaja dunia. Sepertiganya ada di negara berkembang.
  3. Merokok bisa mempengaruhi menstruasi. Soalnya nikotin bisa mengecilkan pembuluh darah dan mengganggu pembekuan darah. Sel darah beku atau trombosit bisa lengket, sehingga sumbatan pembuluh darah membesar. Kalau ini terjadi di rahim, bisa menghambat menstruasi.
  4. Di Indonesia, setiap tahunnya sekitar 57.000 orang mati hanya karena rokok. Berdasarkan data konsultan Bank Dunia, kadar tar dan nikotin yang diizinkan Indonesia paling tinggi di antara 62 negara yang disurvei. Ketika negara-negara maju memperketat peraturan terhadap rokok, dan masyarakatnya makin sadar terhadap bahaya rokok, industri rokok multinasional mengganti sasaran pasarnya ke negara yang peraturannya masih lemah. Indonesia termasuk surga bagi industri rokok.
  5. Data Bank Dunia menunjukkan, di tahun 1990 saja, perolehan cukai rokok di Indonesia sampai 2,6 trilyun rupiah. Sementara kerugian akibat rokok yang diderita rakyat sebanyak 14,5 trilyun atau hampir enam kali lipat cukai rokok. Berarti, sebagian besar biaya kesehatan akibat rokok harus ditanggung penderita dan masyarakat yang belum tentu perokok.
  6. Meski pakai filter, efek rokok terhadap kesehatan sebenarnya sama saja. Dalam satu batang rokok ada 4.000 partikel zat kimia, yang berarti zat tersebut mendekam dalam tubuh perokok. Racun utama rokok adalah nikotin. Menurut Allan Landers, si Mr Winston Man, mantan bintang film sekaligus mantan perokok berat yang mendirikan LSM anti rokok, imej rokok yang mencekoki calonnya dengan imej cool, keren, gaul. Itu masih belum cukup bagi perusahaan rokok. Pabrik-pabrik rokok masih membutuhkan sedikitnya 11.000 perokok baru tiap harinya untuk jadi sasarannya.
  7. Dibanding dengan Singapura, Indonesia ketinggalan 30 tahun dalam hal regulasi (peraturan) rokok. Di Singapura, iklan rokok dilarang sama sekali. Kawasan tanpa rokok diterapkan ketat. Myanmar negara yang konsumsi tembakaunya paling rendah di antara negara anggota WHO di Asia Timur Selatan, melakukan peraturan ketat berupa pajak tinggi, 150 persen untuk tembakau dan 300 persen untuk rokok. Indonesia hanya 70 persen.
  8. Merokok akan menjadi pembunuh terbesar di dunia, setelah AIDS sampai kurun waktu 20 tahun ke depan. Tiap 1.000 ton tembakau mengakibatkan 650 orang yang mati. Ironisnya, itu mengeruk keuntungan sebanyak 27,2 juta dolar Amrik.
  9. Dari laporan Maret 2001, kaum wanita di Amrik yang berisiko meninggal karena rokok semakin meningkat. Rokok jadi penyebab utama kanker paru-paru yang mengakibatkan kematian. Dari laporan disimpulkan, di Amrik saja yang peraturan rokoknya terbilang ketat, sampai dua tahun lalu ada 165.000 wanita mati akibat rokok. Penelitian ini mengambil sampel cewek-cewek dengan pendidikan bagus, dan cewek dari keluarga miskin. Angka kematian karena kanker paru-paru di Amrik, penyebab utamanya adalah rokok.

Source: www.kawanku-online.com

Mahfouz

Di lorong itu ada kedai kopi Kirsha. Dindingnya yang doyong dihias ragam arabesk berwarna-warni. Bau racikan jamu menyebar: aroma masa lampau yang jadi bumbu dan obat orang ramai.
Tapi dari latar yang apak itu ada sikap menampik anasir masa lalu, seakan-akan ingin menghalau warisan yang membentuk diri dalam ketertinggalan bertahun-tahun. Ketika datang seorang pengamen tua memainkan alat gesek dua dawai buat mengiringi selawat Nabi, Kirsha berteriak: ”Kau mau paksa kami dengarkan itu lagi? Sudah, cukup, cukup! ’Kan sudah kuperingatkan minggu lalu!”
Bagi Kirsha, penyair-penembang tua itu hanya sisa yang dilampaui sejarah. ”Kami hafal semua kisah yang kau ceritakan…. Orang kini tak menghendaki penyair. Mereka terus-menerus minta radio, dan aku sudah memasangnya di sudut itu. Pergilah. Tinggalkan kami….”
Zuqaq al-Midaqq (Lorong Midaq), novel Naguib Mahfouz yang pertama kali terbit pada tahun 1947, dalam banyak hal bercerita tentang Kairo, tapi juga Mesir, dan juga, dalam arti tertentu ”Dunia Ketiga”—sebuah dunia yang, menurut Mahfouz dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya pada tahun 1988, tempat orang didera kerja untuk membayar utang, tenggelam dalam bencana dan rudin dalam kelaparan, tempat manusia didiskriminasikan dan, seperti orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan, hidup terasing di tanah mereka sendiri. Tak mengherankan bila novel ini dapat disadur jadi sebuah film Meksiko.
Tapi bukan kesengsaraan itu sebenarnya yang mengusik. Di dunia seperti yang menghuni lorong Midaq, hidup bagaikan sepetak tanah genting. Ia terbentang di antara masa lampau yang bak istana purba yang megah tapi berdebu dan masa depan yang tak jelas tapi gemilang, karena apa pun bentuknya, yang akan datang niscaya lebih baik ketimbang yang ada sekarang.
Hamidah, gadis cantik dalam novel ini, yang mendambakan lepas dari masa kininya, bersedia diperistrikan Abbas, seorang pemuda yang tak menarik hatinya namun bisa menjanjikan jalan ke luar. Lelaki itu bekerja jadi barbir bagi pasukan Inggris. Hamidah sendiri kemudian jadi pelacur melayani tentara Sekutu yang bermarkas di Kairo pada masa perang melawan Hitler itu. Germonya memberinya nama baru, ”Titi”. Hamidah patuh. Nama, baginya, seperti ”pakaian tua, dapat ditanggalkan dan dilupakan”.
Tapi tak semua hal mudah dilupakan. Lorong Midaq, sebagaimana dilukiskan Naguib Mahfouz, adalah ”permata dari zaman yang telah berlalu yang pernah bercahaya seperti bintang berkilap dalam sejarah Kairo”. Sejarah memang telah membentuk sedimen yang tebal di kota itu. Pada 969 para pengikut Fatimah, putri Nabi, menaklukkan kota itu ketika mereka hendak menegakkan daulat sendiri melawan Daulat Abbasiyah di Baghdad. Nama Kairo pun dimulai. Al-Qahira berarti ”Yang Menang”. Posisinya menanjak. Pada abad ke-13 ia jadi ibu kota ketika kaum Mameluk berkuasa, dan begitulah seterusnya, juga ketika yang bertakhta berganti-ganti.
Saya tak kenal pandangan Mahfouz dan tak tahu bagaimana ia memandang masa silam. Seperti banyak orang, saya hanya menduga tiap imajinasi tentang Mesir—negeri yang begitu erat di hati Mahfouz dan praktis tempat ia tak pernah beranjak—dibentuk oleh sejarah yang memberat di kepala, seperti mahkota yang berbobot. Dalam wawancaranya untuk buku Mohamed Salmawy, Mon Egypt, sang sastrawan menekankan betapa besarnya sejarah dan betapa tipisnya geografi Mesir: peradaban kuno itu bermula dari sebilah tanah sepanjang Sungai Nil. Rasa bangga memandangnya, kata Mahfouz, mirip rasa bangga tentang orang tua kita.
Tapi bukankah rasa bangga itu sebenarnya yang membuat orang tua kita, bukan sebaliknya? Masa lalu, istana purba yang megah tapi berdebu itu, dibentuk karena sejenis kehilangan—dan kehilangan itulah yang tak pernah hilang.
Dalam novel yang kemudian diterjemahkan sebagai The Children of Gebelaawi, sang patriarkh, Gebelaawi, membangun sebuah rumah agung di satu oasis di gurun gundul. Tapi gedung itulah kemudian yang jadi sumber pertikaian keluarga. Kapan saja ada yang murung, menderita atau terhina, ia akan menunjuk ke rumah di arah ke gurun itu, dan berkata, ”Itu rumah nenek-moyang kita, kita semua anak-anaknya, dan kita punya hak memilikinya. Kenapa kita kelaparan? Apa yang telah kita lakukan?”
Novel ini, yang mulai ditulis pada 1957 dan diserialkan di koran Al Ahram, dilarang diterbitkan di Mesir. Para ulama di Universitas Al Azhar mengharamkannya. Baru kemudian, pada 1967, cerita yang tak dapat dibaca di seluruh dunia Arab itu terbit di Libanon dengan judul Awlad Haratina (”Anak-anak Gang”).
Memang bukan persoalan tafsir terhadap masa lalu yang menyebabkan lembaga kekuasaan agama itu murka, melainkan persoalan tafsir atas teks. Novel itu, yang bisa dibaca sebagai alegori yang muram tentang Mesir di bawah kepemimpinan Nasser, oleh para ahli agama dianggap penghinaan kepada Islam: jumlah bab dalam novel ini, kata mereka, sama dengan jumlah surah Qur’an, dan Gebelaawi, yang dianggap lambang Tuhan, mati di bagian akhir. Agaknya ketika Mahfouz luka parah setelah dicoba dibunuh pada 1994, tuduhan macam itulah yang masih berdengung di kepala sang pembunuh.
Tapi bukankah masa lalu juga seperti novel: sebuah teks yang tak dapat dicopot, tapi selalu dibaca dan dibentuk oleh rasa kehilangan? Dalam hal para ulama Al Azhar, rasa kehilangan itu datang karena merasa iman terancam dan agama tak lagi utuh dan stabil.
Persoalannya: keadaan terancam itu akan selalu menyertai tiap iman, tiap dogma, karena sumber Kata tak lagi terjangkau. Tapi anehnya manusia justru bisa nyaman dengan itu. Seperti dikatakan Kirsha, si pemilik kedai, orang tak butuh lagi penyair yang menembangkan selawat Nabi. Mereka butuh radio.
Seperti penyair tua di novel itu, Mahfouz pergi, bahkan sebelum ia meninggal pekan lalu. Bunyi-bunyi lain telah meningkah suaranya yang kian lemah.

Goenawan Mohammad
Source: Tempo, Edisi. 28/XXXV/04 - 10 September 2006

Jenar

- untuk Ulil Abshar Abdalla

SIAPA yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang ketawa. Konon itulah yang terjadi setelah Sunan Kudus, di hadapan para wali dan para pembesar istana, memancung seorang cendekia yang dianggap sesat, pada suatu hari Jumat di abad ke-15, di halaman masjid keraton, setelah salat selesai.
Orang itu bernama Jenar. Nama lengkapnya Syekh Siti Jenar—sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda di masyarakat Jawa. Ia memikat karena ia melambangkan perlawanan yang dianggap sah terhadap kekuasaan para ulama dan penguasa yang mengunggulkan ortodoksi. Literati Jawa yang berpengaruh pada umumnya memang tak bersahabat dengan mereka yang gemar membalut hidup dengan syariat serta merasuk ke pemikiran agama yang legalistis—yang oleh penulis Wedatama di abad ke-19 diejek sebagai orang yang anggubel sarengat.
Sebuah puisi Jawa yang ditulis pada tahun 1849, Babad Jaka Tingkir, juga dengan halus mengekspresikan sikap yang sama dengan kisah Syekh Siti Jenar. Nancy K. Florida membuat telaah khusus tentang puisi itu dalam Writing the Past, Inscribing the Future, yang versi Indonesianya akan terbit awal tahun ini, dan dari sana dapat kita peroleh amsal yang menarik setidaknya dari dua cerita: pembunuhan Jenar dan pembangunan Masjid Demak.
Syahdan, begitu kepala Jenar terpenggal, darah pun mengalir dalam beberapa warna. Tokoh ini pernah dianggap tiruan Al-Hallaj, yang juga dihukum mati karena pendirian tasawufnya. Tapi, sementara dalam cerita dari Baghad abad ke-10 itu darah yang tumpah dikatakan membentuk 84 tetes yang menulis kata “Allah”, dalam kisah Jenar adegan yang menakjubkan ialah ketika kepala yang copot itu tertawa. Ia berseru agar darahnya segera kembali ke tubuh, sebab kalau tidak, akan gagal mereka masuk surga. Maka darahnya pun cepat mengalir balik ke urat nadi, dan bercaknya tak tampak lagi.
Setelah itu, kepala Jenar pun mengitari jasadnya tiga kali, dan akhirnya bertaut pas kembali ke tubuhnya. Tak ada bekas luka. Bahkan cahaya paras Jenar berpendar dan bersalam: “Assalamualaikum.” Tampak bahwa hukuman mati oleh Sunan Kudus itu hanyalah sikap sewenang-wenang yang sia-sia. Kepala, lambang pemikiran, dan tubuh, lambang pengalaman, tak akan bisa ditundukkan oleh pedang, syariat, dan kekuasaan mana pun. Lagi pula tubuh Jenar raib, gaib. Momen itu adalah isyarat bahwa apa pun kekerasan yang dilakukan, ada yang tak bisa mati dan bahkan luput dari rumusan kata dan pikiran (”lenyep ing kawekasane/pan tan kena winuwus“). Jenar bukanlah sebuah subyek yang terpasung dalam identitas. Ia bergerak tak tertangkap, tak dapat dipetik (”kesit datan kena pinethik“).
Dengan kata lain, ia sebenarnya seorang manusia pada umumnya. Ia jatimurti, atau sukma-dalam-wadag, roh-di-dunia, der Geist-im-Welt. Dalam keseluruhan itu, ia hadir dalam “rasa” yang sebenarnya hanya bisa dikemukakan dalam “bahasa” yang tak diverbalkan, dudu rerasan. Ia tak bisa dijabarkan dalam kaidah hukum, sebab hukum membuat manusia dilepaskan dari konteks. Hukum bertolak dari asumsi bahwa dalam menjalankan imannya, manusia bisa diseragamkan.
Tapi tidak. Iman manusia adalah ibarat Masjid Demak. Babad Jaka Tingkir membuat pembangunan masjid tertua di Jawa itu sebagai alegori yang sarat makna: bangunan itu didirikan tanpa lebih dahulu dipastikan arah kiblatnya. Baru setelah rampung, delapan orang wali yang mengerjakannya berdebat sengit (pradongdi). Akhirnya wali kesembilan yang dapat menyelesaikan perkara pelik itu. Ia Sunan Kalijaga.
Wali ini, yang dalam pelbagai karya sastra Jawa dianggap wakil “warna lokal” dalam Islam, tafakur sebentar. Kemudian tangan kanannya menjangkau Ka’bah di Mekah dan tangan kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditariknya keduanya hingga akhirnya bertemu, sewujud, bertaut:

Payok Kakbah lawan sirah gada masjid
Dèn-nyataken sawujud
Cèples kenceng datan mènggok

Dengan kata lain, sebagaimana diuraikan Florida, Islam yang “universal” (Ka’bah) bertaut dengan Islam yang “partikular” (Masjid Demak). Yang satu tak menghilangkan yang lain; selamanya ada latar sejarah setempat dalam tafsir.
Ortodoksi mencoba menampik unsur sejarah setempat itu, tapi sebenarnya Islam tak lahir dengan ortodoksi. Seperti ditulis M. Jadul Maulana dalam Syari’at (Kebudayaan) Islam: Lokalitas dan Universalitas, sebuah esai pendek yang tersiar dua tahun yang lalu dalam website LKiS dari Yogya, ortodoksi bermula baru setelah Nabi tak ada lagi. Dalam memperebutkan pengganti Rasulullah, tiap kubu menghadapi persoalan: bagaimana Nabi, terasa hadir secara asli? Untuk mendapatkan yang “asli” itulah kemudian agama dibersihkan dari jejak sejarah, dari lokalitas. Yang dekat pun dihilangkan, yang jauh jadi idaman, sebagai yang tegar dan tunggal. Masjid Demak tak mengacu kepada semua itu. Imajinasi para aulia di masa itu membuat Mekah dan Ka’bah jadi dekat, bahkan tampak dalam jarak tiga mil (among tigang ngemèl tinon). Dan dengan alegori tiang keempat, yang menakjubkan bukanlah yang tegar dan tunggal. Kalijaga membuat tiang itu bukan dari batu, bata, ataupun balok, tapi dari tatal. Adapun tatal adalah lapis kayu yang mengeriting yang terbuang ketika permukaan papan diratakan dengan ketam. Maka masjid dengan tiang tatal ini adalah masjid yang didukung oleh mereka yang dibuang, mereka yang bukan lapisan yang bisa disamaratakan. Masjid itu juga bukan rumah Tuhan yang kukuh karena pokok yang solid, lurus, perkasa—pokok Sunan Kudus, pokok kekerasan dan kekuasaan.

Goenawan Mohammad
Source: Tempo, 12 Januari 2002

Isa

ADA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek, bulat, berkibar-kibar dalam tiap konfrontasi, tangkas, dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih mengingat sosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan tonggak tersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau memandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebatan politik dan persaingan yang terbuka.
Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama secara nasional. Para sejarawan mencatatnya sebagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam kehidupan demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung.
api tak berarti api tak mulai merayap dalam sekam kehidupan masyarakat. Retorika bisa begitu berkobar dan percikannya bukannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini, ucapan-ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang mungkin kelak ikut membuat suasana eksplosif di Indonesia setelah 1959.
Dari pemilihan 1955, ia dipilih jadi anggota Konstituante, dewan perwakilan yang bertugas merumuskan konstitusi. Ketika pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara, Pancasila atau Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh masing-masing pendukungnya.
Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi sedikit yang segalak pidato Isa Anshary dalam majelis yang bersidang di Bandung itu:
”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara. [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….
Pidato itu, dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia—sebenarnya tak menunjukkan perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951, dalam majalah Hikmah, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”
Tentu harus dicatat bahwa Isa Anshary, ”Napoleon” itu, tak memilih jalan perjuangan bersenjata untuk itu; ia dan partainya, Masyumi, membedakan diri dari cara Darul Islam yang pada masa itu bergerilya hendak merobohkan Republik dari hutan-hutan Jawa Barat. Namun mungkinkah sikap yang demikian mutlak—yang mengutuk siapa saja yang tak sependirian dengan kata ”murtad”, ”kafir”, atau setidaknya ”bejat moral”—pada akhirnya bisa menghindar dari kehendak menampik dan menyingkirkan secara mutlak pula?
Jarak antara kekerasan dan sikap yang tak mengizinkan perbedaan hanya terbentang beberapa senti—seperti terbukti dalam sejarah ketika dalil yang absolut dipergunakan dalam bertikai. Kita tahu, riwayat agama-agama tak bersih dari darah dan kebengisan. Tentu saja tak hanya agama: yang brutal terjadi tiap kali doktrin tergoda jadi totaliter, ketika ajaran dijejalkan ke segala pojok hidup dan lubuk jiwa, ketika para ahli agama—sebagaimana kaum ideolog—merasa diri jadi penyambung lidah Yang Maha Sempurna.
Yang sering diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan tentang kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. Bayangan tentang ”yang sempurna” ini—yang oleh para psikoanalis akan disebut sebagai fantasi—pada hakikatnya lahir dan tumbuh dari rasa risau tentang dunia yang apa boleh buat cacat. Ketika yang cacat tak kunjung dapat dihilangkan, doktrin pun membentuk diri dengan menciptakan apa saja yang harus dikutuk dan akhirnya dibinasakan: si ”bejat moral”, si ”fasik”, si ”murtad”, si ”kontrarevolusioner”, si ”revisionis”, ”si komunis”, ”si teroris”….
Tapi kita tahu, daftar itu tak akan habis. Masyarakat yang total tak akan pernah tercapai. ”Negara Islam” telah dicoba dalam sejarah, tapi jawaban selalu hanya sebuah iktikad baik yang mencoba-coba.
Sebenarnya Isa Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan sekali pukul dan buat selama-lamanya. Ia menganggap ”haram” pandangan Bung Karno yang melihat gotong-royong sebagai hakikat Pancasila. Sebab di sini, menurut dia, ”Tuhan yang Maha Esa” dilebur dalam kata ”gotong-royong”.
Dengan kata lain, Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatutnya dipertautkan dengan ikhtiar bersama manusia yang masing-masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi jika demikian, bagaimana mungkin Tuhan diturunkan dari takhta kegaiban dan kesucian untuk mengurus kehidupan politik yang mau tak mau harus dikerjakan oleh tangan-tangan yang terbatas, terkadang cela?

Goenawan Mohammad
Source: Tempo, Edisi 27/XXXV/28 Agustus - 03 September 2006

Politeness


Treat everyone with politeness even those who are rude to you, not because they are not nice, but because you are nice.

Marga Itu Apa?

Oleh: Abdoellah Loebis

Perkataan 'marga' atau clan itu asalnya dari bahasa Sanskrit, varga iaitu warna. Marga itu bermakna ìkelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan. Sehingga kini cuma beberapa kerat sahaja orang Mandailing Malaysia yang memakai nama marga mereka seperti amalan orang Arab memakai nama suku dan orang Tionghua memakai nama seh mereka.
Antara mereka yang memakai nama marga ialah Prof. Madya Haji Muhammad Bukhari Lubis, seorang pensyarah dan penulis yang banyak menghasilkan tulisan-tulisan mengenai tasawwuf. Barangkali kepada pendengar radio dan penonton TV, nama Mandailing yang paling terkenal ialah penyanyi dan juruhebah, Rubiah Lubis.
Di kalangan arwah-arwah orang Mandailing Semenanjung yang memakai marga mereka ialah penulis Abdullah Musa Lubis dan tokoh agama, Abdullah Abbas Nasution. Karangan Abdullah Musa Lubis termasuklah Sejarah Perak Dahulu dan Sekarang, Kesah Raja Marong Maha Wangsa, Hikayat Musang Berjanggut dan Hikayat Raja Pasai. Karya-karyanya diterbitkan sama ada oleh Pustaka Antara atau Sinaran Brothers.
Sementara buku-buku Abdullah Abbas Nasution pula, antara lain ialah Quran Daawah Islamiah, Hukum Haram Riba Tidak Ada Syak Wa Sangka dan Al-Tarikh Majmu Sejarah Islam dalam 32 jilid. Ada karangannya yang diterbitkannya sendiri atas nama Pustaka Nasution.
Ramai lagi tokoh Mandailing yang langsung tidak memakai marga mereka seperti ìnasionalis Melayuî dan pendidik yang terkemuka, Aminuddin Baki (1926-65), anak Chemor yang bermarga Lubis.
Ada juga orang Mandailing yang mulanya memakai marga mereka tetapi kemudian melucutkan pula seperti Kamaludin Nasution. Sesudah melarikan diri ke Semenanjung pada 1932 dari perisikan penjajah Belanda, Kamaludin mengambil nama Abdurrahman Rahim. Dia menjadi penulis ruangan pojok Utusan Melayu pada 1961-1971.
Sekilas pandang lebih ramai orang Mandailing bermarga Lubis memakai marga mereka berbanding dengan orang Mandailing yang bermarga lain di Malaysia. Ini berbeda dengan di Indonesia, di mana kebanyakan orang Mandailing memakai marga mereka dan pemuka-pemuka Mandailing seperti Mochtar Lubis dan Jeneral Harith Nasution telah memasyurkan nama marga masing-masing di pentas dunia.
Kurangnya orang Mandailing di Malaysia memakai marga mereka ialah kerana ramai yang tidak tahu apa itu marga. ìKadangkala marga hanya membawa maksud saudara dalam pengertian yang umum. Perkataan-perkataan lain yang digunakan untuk menggantikan marga ialah bangsa dan puak, kata seorang pengkaji masyarakat Mandailing Malaysia. Malah istilah ìsukuî Minangkabau digunakan untuk marga.
Justeru itu, ada orang Mandailing di Malaysia yang mengatakan bahawa marga, suku, salasilah tidak berguna di Malaysia tetapi boleh digunakan di Sumatra. Ini adalah sikap double standard orang yang dwi-budaya (mengaku Melayu dan juga Mandailing).
Sekiranya orang Mandailing Malaysia tidak memakai nama marga masing-masing, keturunan yang akan datang akan lupa asal-usul mereka. Maka, kita carilah marga masing-masing, susunlah salasilah dan kenal-pasti huta (kampung halaman) nenek moyang kita di Mandailing.
Sehubungan itu, selidikilah perihal Bapa atau nenek moyang kita yang merantau dan seterusnya menetap di Semenanjung. Nescaya kita akan menemui cerita-cerita yang menarik dan penuh erti mengenai penghijrahan mereka ke Semenanjung.
Penulis Basyral Hamidy Harahap telah merumuskan bahawa mereka yang merantau ke mari memiliki sifat-sifat ìkeberanian, ilmu agama, elmu hadatuon (ilmu pendukunan) dan semangat kemajuan.
Umumnya, nenek moyang kita merantau ke Semenanjung kerana Perang Padri (1816-33), kerana hendak menuntut ilmu agama, berniaga, membuka huta harajoan (beraja) yang baru, membawa diri kerana perselisihan faham di kalangan ahli-ahli keluarga atau menghindarkan penjajahan Belanda.
Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, iaitu mengikut nasab atau keturunan sebelah Bapa. Oleh itu, hanya anak lelaki sahaja yang menyambung marga Bapanya.
Nama marga atau clan name orang-orang Mandailing, lelaki mahupun perempuan, datang dari Bapa mereka. Dalam pada itu, anak perempuan yang berkahwin tetap mengekalkan nama marga Bapanya. Dia tidak memakai marga suaminya seperti perempuan Barat yang mengambil surname (nama keluarga) suami sesudah berkahwin.
Seperti orang Arab dan Tionghua, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai salasilah mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya salasilah sesuatu marga diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo) kemudian ianya diperturunkan secara bertulis.
Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal-usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20: Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, iaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali. Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara salasilah mereka.
Biasanya di dalam sesebuah kampung di Mandailing terdapat dua atau tiga marga utama dan marga-marga ini saling kahwin mengahwini. Adat Mandailing melarang perkahwinan sesama marga, misalnya Lubis dengan Lubis, dan pasangan yang melanggar aturan ini akan dihukum.
Marga Lubis ramai menghuni Mandailing Julu (Hulu) manakala marga Nasution dominant di Mandailing Godang (Besar). Penelitian salasilah marga Lubis menunjukkan bahawa marga itu mula menetap di Mandailing Julu pada kurun ke-16.
Dahulu kala, orang Mandailing yang merantau ke Minangkabau, Sumatra timur atau Semenanjung, apabila mereka bertemu satu sama lain, pertama-tama mereka soreh atau bertanya kampung asal dan marga masing-masing. Dengan cara itu, mereka sudah tahu siapa orang itu dan apa gerangannya.
Pada awal kurun ke-20, ramai orang Mandailing dari Tapanuli Selatan yang sudah tinggal beberapa keturunan di Sumatra timur tidak memakai marga mereka kerana mereka bernaung di bawah kerajaan Melayu yang disokong oleh penjajah Belanda. Begitulah juga halnya di Malaysia.
Tetapi selepas pendudukan Jepun, revolusi sosial meletus di Sumatra timur menentang kerajaan Melayu, dan orang-orang Mandailing pun mula menekankan identiti budaya mereka sendiri. Revolusi yang sama tidak berlaku di Semenanjung.
Dr. Ariffin Omar dalam bukunya Bangsa Melayu, berkata bahawa orang Mandailing di Sumatra timur mula memakai nama marga mereka secara meluas sebagai menolak budaya, identiti dan kerajaan Melayu, dan serentak itu menemui semula rupa budaya Mandailing mereka.
Seperti kata Arif Lubis, ketua pengarang akhbar Soeloeh Merdeka dan Mimbar Umum pada zaman revolusi sosial itu, sekiranya seseorang itu boleh ìmasuk Melayuî mereka juga boleh 'keluar Melayu'.
Sejarah menunjukkan bahawa identiti suku kaum bertukar wajah dengan perpindahan, perkahwinan, penjajahan dan naungan politik. Bagaimanapun arus kebangunan etnik yang melanda dunia hari ini telah menghidupkan kembali budaya kaum, terutamanya di kalangan kaum pendatang dan minoriti.

Nota Kaki
  1. Edward McKinnon, Vocabulary: Karo Words of Sanskritic and Tamil Origin, tidak diterbitkan. T. Iskandar, Kamus Dewan, 1970.
  2. Katalog Koleksi Melayu, UKM, 1990.
  3. Syarahan Haji Abdullah Abbas Nasution, tidak bertarikh.
  4. Temubual dengan Ustadh/Cikgu Dahlan Harun (Lubis) di Kampong Batu Sembilan, Chemor, Perak.
  5. Basyral Hamidy Harahap, Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk, 1976.
  6. Donald Tugby, Cultural Change and Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia, University of Queensland Press, 1977.
  7. Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta, 1987.
  8. N. Siahaan, Sedjarah Kebudajaan Batak, Medan, 1964.
  9. Abdoellah Loebis, Riwajat Mandailing, dipetik dari Mangaraja Ihoetan, Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan, 1926.
  10. Lance Castles, Statelessness and Stateforming Tendencies among the Batak before Colonial Rule. Anthony Reid and Lance Castles (editors), Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia, Monographs of MBRAS, Kuala Lumpur, 1975.
  11. Ariffin Omar, Bangsa Melayu Malay, Concepts of Democracy and Community 1945-1950, Oxford University Press, 1993.

Marga-Marga Mandailing
Menurut Abdoellah Loebis, marga-marga di Mandailing Julu dan Pakantan adalah seperti berikut: Lubis (yang terbahagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan.
Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah: Nasution yang terbahagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain.
Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga.)
Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang Lawas.

Source: Abdur-Razzaq Lubis, Marga itu apa? (Surat Berita Mandailing Jilid 1, No. 1), dikutip dari www.mandailing.org

Suku Kaili

Suku bangsa Kaili merupakan penduduk mayoritas di propinsi Sulawesi Tengah, di samping suku-suku bangsa besar lainnya seperti Dampelas, Kulawi, dan Pamona. Orang Kaili dan Dampelas menganut agama Islam, sedangkan orang Kulawi dan Pamona merupakan penganut agama Kristen. Selain itu secara keseluruhan masih ada suku-suku bangsa lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya, yaitu Balaesang, Tomini, Lore, Mori, Bungku, Buol Toli-toli, dan lain-lain.
Sebagian besar dari mereka sudah memeluk agama Islam terutama yang menetap di daerah pantai, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pedalaman menganut agama Kristen atau kepercayaan nenek moyang. Mereka mengakui bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang disebut Tomanuru, yaitu orang yang menjelma dari suatu tumbuh-tumbuhan tertentu yang merupakan titisan/jelmaan dari seorang dewa.
Di samping penduduk asli, di Sulawesi Tengah juga terdapat suku bangsa pendatang, seperti orang Bugis dari selatan serta orang Gorontalo dan Minahasa dari sebelah utara. Bahkan ada sebuah catatan sejarah yang menyatakan, bahwa raja-raja dari Sulawesi Selatan (seperti Bone, Gowa, dan Luwu) pernah lama berkuasa di Sulawesi Tengah, sehingga sampai dewasa ini masih terlihat adanya peninggalan-peninggalan unsur budaya yang memiliki ciri-ciri Bugis-Makassar, seperti bentuk rumah, adat istiadat, perkawinan, tata cara bertani, sistem kekerabatan, sistem mata pencaharian hidup, dan sebagainya.
Hubungan dengan suku-suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan membawa pengaruh pula dalam hal agama, dalam hal ini agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Sulawesi Selatan. Bukti sejarah menyatakan bahwa masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah berasal dari daerah Minangkabau melalui Makassar, yang dibawa oleh seorang mubalig pada saat sedang berdagang. Diperkirakan masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah pada abad XVII, yang mana saat itu penduduk setempat masih memeluk kepercayaan nenek moyang yaitu animisme dan dinamisme.
Kepercayaan animisme dan dinamisme ini terutama masih dianut oleh penduduk yang bermukim di daerah pedalaman, atau mereka yang termasuk kelompok masyarakat terasing di Sulawesi Tengah, seperti suku bangsa Tolare, Wana, Seasea, dan Daya. Inti dari kepercayaan warisan nenek moyang ini antara lain kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk halus, yang dianggap sebagai kekuatan gaib, sebagai tempat berlindung dan bermohon, dengan melalui cara-cara tertentu atau dengan suatu upacara khusus. Banyak nama dan jenis makhluk halus yang dikenal, yang mendiami dan menguasai hutan, gunung, sungai, batu-batu besar, kuburan keramat (disebut anitu) atau laut. Penduduk setempat mengenal jenis-jenis makhluk halus yang sering menjelma sebagai orang pendek yang disebut topepa, makhluk halus yang menjelma menjadi bermacam-macam binatang (kalomba), atau roh-roh orang yang mati terbunuh waktu perang yang sering menampakkan diri tanpa kepala.
Roh atau makhluk halus dibedakan atas dua jenis, yaitu roh halus dari manusia yang telah meninggal karena disebut taulerultalivarani dan roh halus dari manusia yang mati dalam keadaan tidak wajar, seperti pontiana (roh orang mati karena melahirkan). Selain itu ada makhluk-makhluk halus yang menghuni sekitar tempat kehidupan manusia, yang dianggap sebagai penguasa alam dan sering mengganggu manusia. Agar tidak mengganggu manusia dan menimbulkan malapetaka, maka manusia harus mengadakan komunikasi secara khusus melalui upacara ritual dengan mempersembahkan sesaji.
Kepercayaan lain yang masih diyakini masyarakat ialah kepercayaan terhadap manusia biasa yang karena salah menggunakan ilmu hitamnya dapat membunuh orang lain dengan kekuatan roh jahatnya. Orang demikian disebut topeule, yang ditakuti masyarakat karena gangguan roh jahat (mbalasa) yang dimanfaatkannya dapat membuat orang sakit atau meninggal. Kepercayaan akan kematian seseorang sebagai akibat gangguan makhluk halus masih terasa dalam setiap upacara pengobatan tradisional, yaitu upacara balia. Oleh sebab itu peranan dukun (tobalia) sangat penting dalam mengobati orang-orang sakit atau sebagai penghubung antara manusia dengan roh halus.
Penduduk setempat juga percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami dan menguasai tempat-tempat tertentu, dan mereka dianggap sebagai dewa penguasa (pue) tempat-tempat tersebut. Makhluk halus yang menguasai laut disebut pue ntasi, yang menguasai tanah disebut pue ntana, yang menguasai hutan disebut pue nggayu, dan lain-lain.
Demikian pula masyarakat setempat masih mempercayai adanya benda-benda sakti, seperti tana sanggamu (tanah segenggam) yang diyakini sebagai salah satu benda sakti. Bila benda tersebut dibuka dari ikatannya, akan dapat mengakibatkan berbagai peristiwa alam misalnya gempa bumi, bencana alam, dan lain-lain. Di samping itu dikenal benda-benda sakti yang dapat digunakan sebagai penangkal diri, misalnya orang dapat menjadi kebal terhadap senjata tajam, anti guna-guna, tidak diganggu hantu, dan sebagainya. Benda-benda sakti ini dapat berupa keris, cincin, parang, potongan kayu, dan lain-lain.
Dengan masuknya agama Islam sebagai agama mayoritas serta agama-agama lain (terutama Kristen), kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tersebut belum hilang sama sekali, bahkan tumbuh dan berkembang bercampur dengan agama dalam bentuk sinkretisme. Hal ini dapat disaksikan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat yang sudah merupakan perpaduan antara sistem kepercayaan lama dan agama. Meskipun demikian upacara-upacara yang dianggap kurang sesuai dengan agama berangsur-angsur hilang dalam bentuk aslinya, tinggal sisa-sisanya yang dikembangkan dalam simbol-simbol tertentu. Keadaan seperti ini terutama berlaku dalam suku-suku bangsa yang sudah memeluk salah satu agama.
Demikian pula halnya dengan nilai-nilai yang dimiliki suku-suku bangsa pendukung kebudayaan Sulawesi Tengah berorientasi pada ajaran agama Islam dan Kristen serta adat istiadat yang masih sesuai dengan kondisi kehidupan saat ini. Nilai-nilai yang berlandaskan ajaran agama Islam terungkap dalam kata-kata Adat bersendikan syara (adat berlandaskan ajaran agama Islam), sedangkan yang berdasarkan ajaran agama Kristen menitikberatkan akan "kasih terhadap sesama". Semua ini dijadikan pedoman dan sistem pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat, agar tercipta keteraturan yang terkendali serta keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.
Salah satu nilai kehidupan yang berbunyi nilinggu mpo taboyo merupakan manifestasi keakraban hubungan kekerabatan. Pada hakikatnya nilai ini dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang tidak menginginkan adanya jarak atau perbedaan yang dalam antara sesama kerabat, dalam hal ini perbedaan kaya dan miskin. Biasanya mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan dalam hidup selalu menolong kerabatnya agar dapat hidup lebih layak.
Masyarakat Sulawesi Tengah juga mengembangkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.
Demikian pula masyarakat Sulawesi Tengah mengembangkan sopan santun dalam tata cara pergaulan yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Adat sangat membatasi dan mengatur pergaulan muda-mudi. Mereka tidak dibenarkan bertemu berduaan tanpa didampingi seorang tua, karena itu perkawinan diatur oleh orangtua dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Jika adat ini dilanggar, maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan sejumlah hewan tergantung dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan seseorang yang dianggap dapat merugikan orang lain juga diatur oleh adat yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya pelaku pelanggaran adat akan dikenakan denda adat atau sanksi sosial lainnya, seperti menjadi bahan pembicaraan atau ejekan masyarakat, dikucilkan dari masyarakatnya, diusir dari lingkungan tempat tinggalnya, bahkan terjadi pembunuhan sebagai tindakan balas dendam, atau bentuk-bentuk denda dan sanksi lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita dengan sengaja sampai pada perbuatan melanggar susila (pelanggaran yang dilakukan disebut salah kana), maka pelakunya bisa saja dibunuh oleh keluarga pihak wanita yang diganggu. Kalau pembunuhan tidak sampai terjadi, pelanggar akan dikenakan denda seperti yang telah ditentukan oleh adat.
Selain itu adat juga menetapkan beberapa larangan, seperti seorang laki-laki tidak boleh dengan sengaja melihat perempuan yang sedang mandi, salah berbicara sehingga menyebabkan orang lain tersinggung, seorang wanita tidak boleh menerima laki-laki lain jika suaminya sedang tidak berada di rumah, dan lain-lain. Pendidikan budi pekerti ditanamkan dalam diri individu sejak dia masih berusia anak-anak, dan biasanya dilakukan oleh orangtua sesudah makan malam.
Demikian pula dalam masyarakat dikembangkan sopan santun dalam hubungan kekerabatan, misalnya bagaimana harus bersikap, berkata-kata dan bertindak terhadap orangtua atau mereka yang lebih tua usianya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka yang tergolong muda harus bersikap sopan dan hormat kepada golongan yang lebih tua usianya, serta mereka yang berasal dari golongan yang lebih tinggi status sosial dan kedudukannya dalam masyarakatnya. Sebaliknya golongan tua harus dapat bersikap hati-hati dalam memberikan contoh yang baik untuk diteladani oleh para generasi muda.
Pendidikan moral ditanamkan di dalam lingkungan keluarga secara ketat. Yang paling berperan dalam masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab itu anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada ibu daripada ayah mereka.
Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).
Pada masyarakat Sulawesi Tengah dikenal sistem kepemimpinan formal, dan informal. Kepemimpinan formal dalam desa di daerah Sulawesi Tengah dikepalai oleh seorang kepala desa. Kepala desa ini dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh sekretaris desa, kepala urusan-urusan dan kepala dusun. Kemudian kepemimpinan secara informal diketuai oleh kepala adat dan anggota adat lainnya (tokoh-tokoh adat), pemuka-pemuka agama (para ulama, imam dan pembantu-pembantunya), dan organisisasi sosial kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi wanita, dan sebagainya.
Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah mendapat banyak pengaruh kebudayaan dari luar, namun pendidikan moral dan agama masih terus dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan keluarga. Demikian pula walaupun masyarakat Sulawesi Tengah menerima banyak pembaharuan dari unsur-unsur kebudayaan luar, namun secara keseluruhan mereka dapat mempertahankan ketradisionalan dalam unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki.

Sumber: Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah

Suku Minangkabau



Jumlah populasi: kurang lebih 12 juta
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan:
• Sumatra Barat, Indonesia: 4,2 juta.
• Jabotabek, Indonesia: 1,2 juta.
• Riau, Indonesia: 750.000.
• Jambi, Indonesia: 300.000.
• Negeri Sembilan, Malaysia: 550.000.
Bahasa: bahasa Minang, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.
Agama: Islam.
Kelompok etnis terdekat: Melayu.


Suku Minangkabau atau Minang atau seringkali disebut Orang Padang adalah suku yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Suku ini terutama terkenal karena adatnya yang matrilineal walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kurang lebih dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini, populer dengan sebutan,masakan Padang sangat terkenal.
Suku Minang pada masa kolonial Belanda juga terkenal sebagai suku yang terpelajar. Oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Hindia-Belanda sebagai pengajar, ulama dan menjadi pegawai pemerintah. Di samping itu, mereka juga aktif dalam mengembangkan sastra Indonesia modern, dimana hal ini tampak dari banyaknya sastrawan Indonesia di pada masa 1920 - 1960 yang berasal dari suku Minang. Pada masa kolonial, kebanyakan dari mereka yang terpelajar ini datang dari suatu tempat bernama Koto Gadang, suatu nagari yang dipisahkan dari kota Bukittinggi oleh lembah yang bernama Ngarai Sianok. Sampai sekarang mayoritas suku Minang menyukai pendidikan, disamping tentunya perdagangan.

Suku-suku dalam Etnik Minangkabau
Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.
Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari dua lareh atau kelarasan (laras). Suku-suku tersebut adalah:
• Suku Koto
• Suku Piliang
• Suku Bodi
• Suku Caniago

Dan dua kelarasan itu adalah:
• Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
• Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang

Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:
• Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik
• Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis

Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia Nan Bamego-mego.
Sekarang, suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:
• Suku Tanjung
• Suku Sikumbang
• Suku Sipisang
• Suku Bendang
• Suku Melayu (Minang)
• Suku Guci
• Suku Panai
• Suku Jambak
• Suku Kutianyie
• Suku Kampai
• Suku Payobada
• Suku Pitopang
• Suku Mandailiang
• Suku Mandaliko
• Suku Sumagek
• Suku Dalimo
• Suku Simabua
• Suku Salo
• Suku Singkuan

Asal-Usul
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan.
Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.

Sosial Kemasyarakatan
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap Nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin-pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan KAN (Kerapatan Adat Nagari). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

Kebudayaan
Dalam pola keturunan dan pewarisan adat, suku Minang menganut pola matrilineal, yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan hampir seluruh suku Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenallah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.
Meskipun menganut pola matrilineal, masyarakat suku Minang mendasarkan adat budayanya pada syariah Islam. "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai."

Upacara dan Festival
Turun mandi
Batagak pangulu
Turun ka sawah
Manyabik
Hari Rayo
Tabuik

Kesenian
Randai
Pencak Silat
Saluang
Talempong
Tari Piring
Tari Payung
Tari Pasambahan
Tari Indang
Sambah manyambah

Kerajinan Tangan
Songket yang dikerjakan oleh Pandai Sikek

Makanan
Nasi Kapau
Rendang
Rendang
Sambal Balado
Kalio
Gulai Cancang
Samba Lado Tanak
Palai
Lamang
Bubur Kampiun
Es Tebak
Gulai Itik
Gulai Kepala Ikan Kakap Merah
Sate Padang
Soto Padang
Asam Padeh
Keripik Jangek
Keripik Balado
Keripik Sanjai
Dakak-dakak
Galamai
Amping Badadih

Minang Perantauan
Minang perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, 1973 (Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore), pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berarti hampir separuh orang Minang berada di luar Sumatra Barat. Melihat data tersebut, maka berarti ada perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau tertinggi di Indonesia adalah orang Bawean (35,9 %), kemudian suku Batak (14,3 %), lalu Banjar (14,2 %), sedangkan suku Minang hanya sebesar 10,5 %.
Saat ini diperkirakan jumlah Minang perantauan bisa mencapai 70 %, bahkan lebih. Hal ini berdasarkan penelitian acak, yang menyebutkan setiap keluarga di ranah Minang, dua pertiga saudaranya hidup di perantauan[rujukan?]. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi besar-besaran pertama terjadi pada abad ke-15, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke Negeri Sembilan, Malaysia. Kemudian gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-19, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak privelese untuk mendiami kawasan kerajaan Riau-Lingga.
Pada masa penjajahan Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, Minang Perantauan banyak mendiami kota-kota besar di pulau Jawa. Kini, Minang Perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau.
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Mayoritas perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Literatur
  1. (de) Astrid Kaiser: Mädchen und Jungen in einer matrilinearen Kultur. Interaktionen und Wertvorstellungen bei Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau auf Sumatra. Kovac, Hamburg 1996 ISBN 3-86064-419-X
  2. (de) Ute Marie Metje: Die starken Frauen. Gespräche über Geschlechterbeziehungen bei den Minangkabau in Indonesien. Campus, Frankfurt am Main und New York 1995, ISBN 3-593-35409-8
  3. (de) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches, Unglaubliches. Jahn und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3 (Erlebnisbericht)
  4. AA. Navis, Curaian Adat Minangkabau
  5. Tambo Alam Minangkabau

Source: Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.