Menonton Televisi: Membuat Pasif dan Tidak Kreatif

Psikolog Dra. Rose Mini menjelaskan bahwa ada beberapa efek buruk yang dapat diperoleh bila anak terlalu lama menonton TV. Efek ini berlaku untuk anak dari segala umur.

Menjadi pasif dan tidak kreatif. Efek ini terjadi karena anak hanya duduk, di depan TV sepanjang waktu. Kemampuan berpikir, berimajinasi anak kurang berkembang karena disodori sesuatu yang sudah jadi. Berbeda bila anak membaca buku. Bacaan yang dinikmati menuntut adanya kreativitas anak untuk membayangkan, berimajinasi dengan apa yang dibaca. Sikap pasif ini bisa membuat anak menjadi tidak kritis terhadap diri dan lingkungannya.

Kegemukan. Kurangnya aktivitas dan ditambah kebiasaan makan camilan, anak bisa menjadi gemuk. Di Amerika Serikat dikenal adanya sindroma Couch Potato karena makanan camilan itu adalah junk food yang sering diiklankan di TV. Dalam publikasinya tanggal 21 Januari 2002, Reuter menyebutkan bahwa nonton TV mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi anak. Suatu penelitian di California, menurut William Dietz, direktur divisi nutrisi Center for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan, 25 persen makanan masuk ke mulut anak pada saat nonton TV. Kebiasaan itu, menurutnya, berlangsung seiring dengan peningkatan jumlah pengidap obesitas di wilayah itu. Karena itu, Dietz mengatakan bahwa anak-anak butuh kegiatan pengganti nonton TV untuk merangsang aktivitas fisik dan mengurangi jumlah makanan yang mereka asup.

Efek Candu, Asosial dan Kurang Peka. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun bisa kecanduan acara TV. Kecanduan ini akan menjadi masalah besar bila anak sampai tidak mau bermain dengan anak-anak lain. Interaksi dengan lingkungan semakin berkurang dan mengakibatkan anak menjadi kuper (kurang pergaulan). Sikap asosial bisa muncul dan menyebabkan anak kurang peka dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya tertuju pada TV dan minatnya sendiri. Ada bel diam saja, dering telepon tidak digubris dan bahkan membuat anak malas memperhatikan kondisi lingkungannya. Pada akhirnya semua itu bisa mengakibatkan anak mengalami penurunan prestasi belajar, bila dikaitkan dengan semangat belajar. Konsentrasi berlebihan pada TV bisa mengakibatkan anak melalaikan tugas belajar dan menurunkan semangat belajar.

Jiwa Konsumtivisme. Pengaruh iklan yang semakin hari semakin bombastis tidak hanya mengenai orang dewasa. Anak-anak dengan sendirinya akan terkena. Berbagai barang yang ditawarkan dari mainan, minuman, makanan, dan sebagainya memberikan janji-janji kesenangan. Secara tidak sadar dalam diri anak akan tertanam nilai-nilai konsumtivisme. Tidak hanya sampai di situ. Anak-anak bisa menganggap bahwa kebahagiaan bisa diperoleh dan diukur dengan memiliki produk-produk terbaru yang ditawarkan.

Electronic Babysitter. Kali ini bukan efek pada anak secara langsung, tetapi melalui orangtuanya. Kadang orangtua malas atau tidak bisa menghadapi anak yang maunya macam-macam. Tak sedikit orangtua yang lebih cenderung menyuruh anak duduk manis, menonton TV. Dengan demikian TV dijadikan electronic babysitter. Pada akhirnya si anak menjadi berkurang waktunya untuk bersama orangtuanya dan tentunya mengurangi kedekatan anak dan orangtua.

Gangguan Tidur. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Knights of Columbus Development Centre, Saint Louis, Amerika Serikat menyebutkan bahwa anak-anak yang kelamaan menonton TV akan mengalami tidur yang tidak nyenyak dan sering mengigau bahkan terbangun di malam hari. Penelitian terhadap 402 orangtua yang mewakili 495 anak berusia antara 4 dan 10 tahun membuktikan bahwa umumnya para bocah itu menonton TV, termasuk video, selama 3 jam sehari. Sebagian besar menonton TV sepulang sekolah.

Besarnya minat anak-anak menonton TV, menurut Dr. Judith Owens dari Bagian Psikiatri Anak dan Keluarga, RS Anak Hasbro Providence, Rhode Island, AS ditunjukkan dengan data sebagai berikut: lebih dari 76 persen anak TK menganggap menonton TV sebagai bagian kehidupan mereka sebelum tidur. Sebanyak 26 persen di antara responden memiliki TV di kamar tidurnya. Sedangkan sisanya menonton TV di ruang tamu atau ruang keluarga sampai tertidur di sofa.

Hasilnya, sekitar 40 persen dari mereka mengalami masalah tidur. Di antaranya malas beranjak ke tempat tidur dan tidak mengantuk, walaupun waktu tidur sudah tiba. Sedangkan 15,6 persen responden merasa kurang tidur selama 2 malam dalam sepekan.@

Dampak Negatif Beberapa Acara..!
Iklan. Orang dewasa saja mudah terpengaruh iklan sehingga gaya hidup konsumeris menjadi gejala umum, apalagi anak-anak. Hati-hatilah bila anak mulai kecanduan satu macam produk. Kemungkinan besar, TV-ah pemicunya.
Film Kartun. Dra. Rose Mini menyebutkan film kartun bisa membuat anak menjadi salah mengerti. Adegan kekerasan yang muncul dan terjadi seperti normal saja bisa ditiru anak-anak. Misalnya ada tokoh dipukul dan tidak apa-apa, anak bisa meniru perbuatan itu dengan memukul temannya.
Sinetron dan Telenovela. Masalah akan terjadi bila anak melihat acara TV atau film produk luar. Gaya hidup dan cara pandang yang lain membuat orangtua kesulitan menjelaskan pada anak mengenai semua hal yang sangat berbeda dengan adat yang hidup di tempatnya.
Film Laga. Bagian ini sangat jelas, karena tokohnya manusia nyata dan sangat mudah ditiru. Banyak kasus yang menunjukkan adanya tindak kriminal anak-anak karena mereka menonton film di TV atau video.
Film Horor. Dampak nyata adalah ketakutan yang muncul setelah anak melihat film yang mengerikan. Sulit tidur karena membayangkan sesuatu yang menurut mereka menyeramkan menjadi hal biasa. Akibatnya, bisa saja anak menjadi penakut. @

Penyakitnya Hanya Mata Lelah...
Persoalan TV tidak hanya berdampak pada perilaku dan kegemukan. Dampak fisik lain yang berkaitan adalah mata. Dr. Vidyapati Mangunkusumo, spesialis mata dari Jakarta Eye Center menyebutkan bahwa saat ini banyak perusahaan yang memproduksi televisi yang aman untuk mata, sehingga tidak terjadi kebocoran pada tabung TV yang bisa memancarkan sinar gamma.

Dikatakan oleh Dr. Vidyapati, tidak ada penyakit yang muncul karena TV selain capai dan lelah pada mata. Kelelahan terutama dikarenakan posisi tubuh saat melihat TV tidak ergonomis.

Menonton TV sebaiknya dalam posisi duduk. Warna dan bentuk TV (layar datar mapun cembung), tidak berpengaruh pada mata dan hanya berkaitan dengan soal kenyamanan.

Kelelahan yang sering ditandai dengan mata pedas, berair cukup diatasi dengan istirahat. Kalau hendak menonton TV harus pada jarak minimal 2,5 kali lebar diagonal layar. Kalau lebar diagonal layar 50 cm, maka kita harus menonton pada jarak 2, 25 meter. Aturan ini berlaku untuk semua orang. Ini adalah jarak terdekat di mana mata masih bisa membedakan dua titik dalam keadaan mata istirahat. @

Alihkan Minat..!
Satu hal yang penting diingat adalah, jangan mengandalkan televisi untuk mengasuh anak. Anak sebaiknya diberi rangsangan kreatif untuk melatih otak, emosi, pikiran, dan motoriknya.

Menurut Dr. Sudiyanto Darnosubroto, ahli kesehatan anak pada Fakultas Kedokteran UI, sebaiknya sebagian besar waktu anak tercurah untuk kegiatan fisik seperti bermain, berolahraga, dan belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut secara teoritis bisa memberikan rangsangan pada pertumbuhan emosi, budi pekerti, dan intelektual.

Kalau pun televisi dianggap berperan terhadap pengetahuan anak, itu tergantung isi siarannya. Karena, menurut Sudiyanto, "Anak-anak mempunyai jam tidur dari pukul 20.00 sampai pukul 06.00 atau sekitar 10 jam. Sisanya perlu diisi dengan kegiatan sekolah, olaharga, atau menekuni hobi."

Pada waktu luang, daripada duduk diam di depan televisi, lebih baik Anda menemani anak bermain yang memungkinkan badan bergerak dan otak berkegiatan.

Dengan mendongeng atau bercerita Anda bisa berkomunikasi langsung dengan anak. Anda bisa sekaligus belajar bagaimana bercerita secara ekspresif; dengan gerak, mimik (raut muka), dan gaya bercerita yang menarik.

Jangan jadikan televisi sebagai alat yang membuat anak betah di rumah. Banyak orangtua merelakan anak-anaknya memelototi televisi seharian daripada berpanas-panas bersama temannya di luar rumah.

Salah satu cara membuat anak tidak fanatik dengan televisi bukan menghindari televisi tetapi mengalihkan minat anak pada hal lain yang lebih menarik namun positif. Mary Leonhardt, penulis buku Parents Who Love Readings, menyebutkan bahwa membaca buku merupakan hal positif yang bisa dijadikan alternatif untuk mengalihkan minat anak yang terlalu besar pada TV.

Dengan membaca, anak diajak untuk mengembangkan imajinasi karena buku tidak menampilkan visualisasi yang sudah matang. Buku yang ditunjuk, dalam hal ini adalah buku semacam novel-novel sederhana. Dengan membaca, anak diajak mendalami perasaan dan gairah yang dimunculkan penulis terhadap masing-masing tokoh.

Dengan membaca, kekerasan yang bisa saja muncul dalam sebuah novel dapat dilihat dari sisi lain. Anak bisa belajar untuk menempatkan dirinya pada tokoh jahat yang diperankan dan merasakan sendiri betapa berbuat tidak baik itu tidak membahagiakan.

Bagaimana pun, televisi sangat terbatas kemampuannya menjabarkan suatu persoalan jika dibandingkan buku. Itu sebabnya sampai ada pakar yang menyebut TV sebagai stupid box! @

Source: Kompas Cyber Media (www.kompas.co.id)

No comments: