Pestisda: Musuh Nyata Kita


Saat ini, sekitar 4 milyar pon pestisida diproduksi setiap tahun di seluruh dunia. Jumlah ini berarti setara dengan hampir 1 pon setiap orang. Negara-negara Dunia Ketiga memang hanya menggunakan 1/5 dari produksi pestisida dunia, tapi menderita lebih dari ½ kasus keracunan dan hampir ¾ kasus kematian yang disebabkan oleh pestisida!
  • Awal pengenalan dan ledakan penggunaan pestisida dimulai pada tahun 50-an, ketika WHO (World Health Organization/organisasi kesehatan dunia) memberantas nyamuk malaria dengan menggunakan DDT. Dengan cepat, diperkirakan 15 juta kasus malaria kasus malaria berhasil dicegah dan 2 juta jiwa terselamatkan. Tahun 1965, kasus malaria di India berhasil dikurangi dari 100 juta kasus menjadi hanya 100.000 kasus dalam satu dasawarsa. Tapi, nyamuk yang tahan DDT kembali menyerang. 1976: kasus malaria di India melonjak mencapai 6,5 juta kasus. Saat ini, diperkirakan 150 juta kasus malaria baru terus bermunculan setiap tahun dan sekitar 800 juta orang menderita karena penyakit ini.
  • Pada tahun 60-an, “Revolusi Hijau” dimulai dengan memperkenalkan benih-benih baru yang lebih “produktif” dan menyertakan penggunaan sejumlah besar pestisida dan pupuk di masyarakat petani Dunia Ketiga. Akibat “Revolusi Hijau”, penjualan produk bahan kimia meledak. Hingga tahun 1984, hanya ada lima perusahaan utama yang mengendalikan separuh pasar pestisida di seluruh dunia. Perusahaan-perusahaan itu adalah Shell, Bayer, Ciba-Geigy, Monsanto, dan ICI.
  • Ketika penjualan pestisida maju pesat, Rachel Carson menulis buku Silent Spring (1962) yang pertama kali menyatakan peringatan tentang sisa-sisa pestisida pada rantai makanan dan bahanya terhadap keseimbangan lingkungan.
  • Tahun 1972, WHO memperkirakan 500.000 orang terkontaminasi/keracunan pestisida, 9.000 di antaranya meninggal dunia. Jumlah itu diperkirakan makin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatannya bahkan mencapai 50 persen. Khusus Amerika Serikat, diketahui bahwa sekitar 10 persen bahan pangan di negara itu telah tercemari pestisida.
  • Data kerugian akibat penggunaan pestisida merupakan sebuah “fenomena gunung es”. Kasus keracunan pestisida diperkirakan mencapai 2 juta kasus per tahun.
  • Sejak itu, beberapa negara mulai menetapkan batas tertinggi adanya residu pestisida dalam makanan (kebanyakan merujuk pada rekomendasi yang dibuat oleh Kodeks Alimentarius).
  • 1965: beberapa badan dunia seperti ILO (International Labour Organization) menegaskan pentingnya pemberian tanda bagi senyawa-senyawa beracun.
  • Selama tahun 70-an, isu pestisida mulai diperhatikan oleh LSM-LSM. IOCU (organisasi konsumen dunia) secara khusus berbicara kepada masyarakat konsumen tentang ancaman pestisida terhadap keamanan pemakaian dan bahaya residunya dalam makanan.
  • 1972: masalah pestisida mendapatkan perhatian serius dan global dalam Konferensi Internasional Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia. Selama 10 tahun setelah konferensi itu, badan-badan PBB secara bertahap mulai membicarakan isu-isu tentang pestisida. WHO memulai Program Global Kesehatan, FAO mengawali program Pengendalian Hama Terpadu.
  • 1977: dewan pemerintah dari Program Lingkungan Hidup PBB mendesak agar kalangan pemerintah menjamin untuk tidak melakukan ekspor bahan-bahan kimia berbahaya yang telah dilarang di negara bersangkutan jika tanpa informasi resmi dari pihak berwenang di negara pengimpornya.
  • 1979: Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi agar “saling menukar informasi tentang produk kimia berbahaya yang telah dilarang di wilayah mereka serta mencegah kegiatan ekspor maupun impor produk-produk sejenis itu ke negara lain".
  • Nopember 1980: 31 pemimpin konsumen dari 13 negara menandatangani Deklarasi IOCU yang meminta semua pemerintah dunia agar “menyusun program pengawasan ekspor bahan-bahan beracun”.

Irfan Lubis, dari berbagai sumber

No comments: