Mengkritisi Kesaksian dalam Iklan

Oleh: Zaim Saidi (Direktur PIRAC)

Demi menarik seorang konsumen untuk membeli suatu produk, produsen menciptakan iklan dengan beragam bentuk dan "bumbu penyedap". Salah satu bentuk iklan yang akhir-akhir ini semakin banyak ditayangkan oleh produsen, baik dalam media cetak maupun elektronik, adalah dalam bentuk kesaksian para konsumen. Agak berbeda dari iklan-iklan pada umumnya yang menonjolkan aspek visual, iklan kesaksian justru menonjolkan aspek verbal. Tampilannya pun cenderung dirancang secara "bersahaja" dan tampak apa adanya, ditampilkan sebagai sesuatu yang sangat alamiah. Aneka produk mulai dari multivitamin untuk anak-anak, deterjen, sampo, sabun mandi, sampai alat peninggi badan, diiklankan melalui kesaksian ini.
Bagi pemesan iklan, pemanfaatan kesaksian (konsumen) semacam itu memang memberi setidaknya dua keuntungan sekaligus. Pertama, dampak persuasifnya kepada konsumen yang lebih kuat, karena berkesan merupakan "pengalaman dan bukti nyata dari konsumen". Dengan cara ini maka diharapkan lebih banyak lagi konsumen yang mempercayai dan mengikuti jejak si saksi dalam mengkonsumsi produk tersebut. Kedua, dengan memakai kesaksian konsumen, pemesan iklan tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membayar bintang iklan. "Bintang-bintang" iklan yang ditampilkan dalam kesaksian justru konsumen biasa, bukan kaum selebritis yang tentu harus dibayar sangat mahal.
Banyak sekali contoh kesaksian dalam iklan yang dapat disajikan. Misalnya kesaksian para ibu yang menyatakan bahwa anak-anaknya menjadi cerdas dan pintar setelah mengkonsumsi multivitamin tertentu. Atau, meski tidak mengklaim khasiat tertentu, setidaknya menyatakan produk bersangkutan sebagai pilihannya. Ada juga iklan kesaksian yang dikombinasi dengan "pertunjukan" atau demonstrasi kelebihan khasiat suatu merk produk—ambil contoh krim pengusir nyamuk—dibandingkan merk lain. Persoalan kita adalah: bagaimanakah kebenaran kesaksian semacam itu dapat terjamin?
Kita bisa mempertanyakan: bagaimana cara para ibu memastikan hubungan antara konsumsi multivitamin itu dengan kecerdasan si anak, apakah melalui penelitian? Bila cuma kesan maka itu berarti hanya seolah-olah, dan tidak mustahil kesaksian seperti itu pun "aspal" (asli tapi palsu). Artinya secara substanstif iklan semacam ini bisa cuma berisi akal-akalan produsen, bahkan membohongi konsumen. Karena itu konsumen perlu mencermati antara kesaksian yang isinya benar-benar sesuai kenyataan, atau hanyalah kesan yang tentu tidak selamanya merupakan kebenaran dari klaim yang disampaikan.
Dalam berbagai hal lain, untuk produk-produk tertentu, boleh jadi kondisi-kondisi spesifik bahkan faktor individu pemakai memberikan pengaruh atau reaksi berbeda. Artinya sebuah keberhasilan atau kemanfaatan pemakaian produk tertentu bagi seseorang, yang bertindak sebagai "saksi", bisa saja tidak berlaku umum bagi semua orang. Produk seperti kosmetik, atau functional food, adalah contoh produk yang berpotensi seperti ini. Kehadiran zat-zat tertentu, meskipun sangat sedikit, bisa sangat mengganggu dan merugikan seseorang, umpamanya saja, yang menderita alergi. Kesan lain yang pantas dicermati dari kesaksian dalam iklan adalah efek instan, atau kecesplengan, dari sebuah produk yang kerap kali jelas berlebih-lebihan.
Memang dari berbagai ketentuan hukum yang berkaitan dengan masalah periklanan tidak ada yang secara spesifik mengatur masalah kesaksian ini. Secara normatif hanya Tata Krama Periklanan Indonesia yang mengaturnya. Satu prinsip yang harus diikuti dalam pemakaian kesaksian dalam iklan, menurut Tata Krama ini, adalah kejelasan. Karenanya selain menyebutkan nama, yang biasanya disertai foto, iklan kesaksian harus dilengkapi dengan alamat yang bersangkutan. Maksudnya, bila diinginkan, konsumen lain bisa mencek kebenaran pengalaman nyata si "saksi", dengan cara menghubungi langsung yang bersangkutan. Kita ketahui ketentuan yang sangat umum ini pun sangat jarang diikuti oleh pengiklan.
Dari segi isi, kebenaran iklan jelas harus dijamin. Pasal 17 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketetapan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; serta mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan. Iklan juga tidak boleh melanggar etika. Semua jenis kesaksian seharusnya menyertakan nama dan alamat para saksi dengan jelas.
Konsumen yang kritis sebenarnya bisa langsung bersikap meragukan kesaksian-kesaksian semacam itu. Apalagi, bila kita cermati, tidak jarang kesaksian dalam iklan ini dikaitkan dengan hadiah-hadiah tertentu, yang diberikan seolah secara mendadak di rumah-rumah konsumen. Bukankah sangat mungkin seorang konsumen memuji-muji suatu produk karena hadiah yang diberikan produsen, dan bukan karena kebenaran pengalamannya? Bahkan, tidak mustahil, si konsumen yang bersaksi tersebut bahkan belum pernah menggunakan produk bersangkutan?

Source: Koran Tempo, 28/01/2002

No comments: