Jangan Lagi Jadi Konsumen yang Nrimo


Undang-undang No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen, yang telah diberlakukan sejak 20 April lalu, agaknya perlu waktu lama untuk bisa dirasakan manfaatnya. Sebabnya, selain telah puluhan tahun konsumen berada dalam posisi kalah, rasa pasrah dan nrimo ketika dirugikan telah menjadi kebiasaan. Itu pun masih diperburuk oleh ketiadaan solidaritas konsumen, rendahnya disiplin, juga mental para produsen maupun aparat pelayan masyarakat.
Undang-undang Perlindungan Konsumen memang diharapkan menjadi titik balik pemberdayaan konsumen. Kasus-kasus yang selama ini berlangsung secara individual dan sporadis, melalui surat pembaca di koran atau telepon keluhan di acara televisi, misalnya, akan lebih terarah dan berdampak langsung. Bahkan terbuka pula kemungkinan jatuhnya sanksi bagi produsen.
Masalahnya, seberapa kuat aturan itu akan bergaung? Seberapa kuat pula akan menumbuhkan "budaya konsumen" baru, mengubah "budaya" yang selama ini ada. Lagi pula, akankah pemerintah konsekuen dalam menjalankannya, antara lain dengan menyiapkan sarana dan prasarana, termasuk aparat yang akuntabilitasnya terjaga?
Menganggap tidak apa-apa
Kendala yang cukup mengganjal adalah pandangan dan kepedulian masyarakat kita terhadap produk hukum atau undang-undang. Apalagi kalau menyangkut aturan yang jarang dijumpai dalam keseharian. Ditambah dengan kesalahkaprahan yang telah berlangsung sangat lama, jadilah anggapan bahwa undang-undang itu sekadar produk tertulis yang tidak harus menjadi rujukan utama, karena setiap kesalahan dan pelanggaran bisa diselesaikan "di bawah meja".
Hal lain adalah kebiasaan tidak tertib, termasuk membiarkan tetap berlangsungnya ketidaktertiban itu. Contoh paling mudah dikenali adalah kerumunan di depan loket. Tanpa mengabaikan ketertiban yang telah rutin terjadi di banyak pasar swalayan, counter bank, atau loket pengambilan uang pensiun di kantor pos, di tempat lain sangat banyak terjadi ketidakteraturan.
Loket karcis kebun binatang, loket karcis bus antarkota atau stadion sepakbola, bahkan loket karcis kereta api kelas eksekutif. Selain minimnya sarana yang memaksa orang antre, acap kali si penjaga loket juga membiarkan ketidaktertiban dengan melayani siapa pun yang uluran tangannya lebih dekat. Konyolnya, tak sedikit konsumen yang tidak mengingatkan orang lain yang tidak mau antre. Kondisi semacam ini memang tak menguntungkan bagi konsumen yang memang sudah punya budaya antre.
Keadaan yang hampir sama mudah dilihat di halte-halte bus di Jakarta. Bisa dipastikan, halte lebih sepi penumpang - malah dimanfaatkan penjual rokok, koran, atau minuman untuk menjajakan dagangannya - ketimbang trotoar atau tempat lain sekitarnya. Konyolnya, bus atau angkutan umum pun berhenti di tempat kerumunan di luar halte, yang seringkali justru ada tanda larangan berhenti atau parkir - dan tak diapa-apakan petugas yang berwenang. Ketika dibuatkan pagar yang mengharuskan orang antre, calon penumpang malah berdiri di luar pagar.
Suatu ketika terjadi pembahasan ramai kasir toko atau pasar swalayan yang mengganti sebagian uang kembalian dengan permen. Sekalipun banyak orang menerima dan menganggap tidak apa-apa, tak sedikit orang yang menolak. Yayasan Lembaga Konsumen pun mengecam, sehingga praktik semacam itu hilang untuk sementara. Memang untuk sementara, karena tak ada jaminan akan terhapus selamanya.
Seringkali dijumpai, alat permainan yang dioperasikan dengan koin pada arena bermain anak-anak, "menelan" koin begitu saja tanpa bisa dimainkan. Ada konsumen yang protes, tapi ada pula yang membiarkannya, atau petugas di tempat itu tak mau mengatasinya karena tidak diminta.
Demikian pula halnya konsumen yang tidak memusingkan makanan kaleng dengan kemasan penyok, yang bukan mustahil diambil karena tak ada pilihan lagi. Juga mereka yang memaklumi setelah pelayan restoran minta maaf dan mengganti minuman meski sebelumnya si konsumen menemukan tusuk gigi patah di dasar gelas minumannya. Atau, dalam tingkat yang lebih berat, orang yang mengalami gangguan fisik setelah mengkonsumsi sebuah produk makanan namun membiarkan saja, karena kalau mengajukan protes justru akan kerepotan karena disuruh membuktikan, melakukan pengujian, dan menjalani pemeriksaan yang akhirnya rugi waktu, tenaga, serta biaya.
Itu mungkin dilatarbelakangi sikap nrimo seperti halnya pasien yang tidak melakukan penuntutan kendati telah mengalami malpraktik dokter. Bisa pula diwarnai sikap masa bodoh terhadap nilai uang "yang tidak seberapa" karena kondisi serba kecukupan, sebagaimana diperlihatkan orang berpunya yang belanja di pertokoan di Jakarta tanpa peduli ongkos parkir Rp 2.000,-/jam misalnya.

Solidaritas rendah
Masih banyak contoh untuk menunjuk situasi yang tidak menguntungkan konsumen. Baik dari kondisi dirinya maupun kondisi di luar dirinya. Belum lagi sistem kemasyarakatan dan kebiasaan, yang dalam beberapa hal ditafsirkan sebagai "budaya konsumen".
Karena masalahnya sangat kompleks dan pelik, sungguh bukan hal yang sederhana berbicara mengenai pemberdayaan konsumen. Indah Suksmaningsih, ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjelaskan, pemberdayaan atau pendidikan konsumen - sekalipun sulit dan perlu waktu lama serta biaya besar - hanyalah salah satu arah perhatian organisasi konsumen semacam YLKI. Lembaga ini masih harus membentuk jaringan (networking) baik dengan masyarakat, lembaga pendidikan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat sejenis. Masih pula terdapat hal lain, yakni gerakan advokasi, baik kepada pengusaha/produsen maupun penguasa, khususnya para pengambil kebijakan publik.
Maka, berbicara mengenai konsumen, Indah tak punya cara lain kecuali menganjurkan sebanyak mungkin konsumen yang dirugikan menulis atau melaporkan keluhannya ke media massa. Juga disarankan, pada saat yang sama mengubah perilaku dari nrimo atau menerima begitu saja menjadi sikap korektif.
Dengan mengadukan keluhan, menurut Indah, paling tidak si konsumen sudah melindungi orang lain dari kemungkinan risiko kerugian serupa. Itu bentuk solidaritas.
Sayang, fenomena orang berpunya yang tak peduli berapa pun uang parkir yang dia bayarkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan bahwa solidaritas sesama konsumen masih rendah. Jenis konsumen semacam ini dianggap tak punya kepedulian soal rasa adil dan tidak mampu melihat bagaimana mestinya hubungan antara produsen dan konsumen.
Jika keadaan begitu terus berlangsung, aneka persoalan konsumen tetap akan berada dalam porsi individu dan bersifat sporadis, sehingga kurang berhasil guna.
Lain halnya jika keluhan disampaikan secara kolektif. Upaya protes soal tarif telepon oleh belasan ribu pelanggan yang difasilitasi YLKI, dua tahun lalu, misalnya, ternyata berdampak pada penurunan kembali tarif.
"Itulah bukti dari adagium 'konsumen memiliki kekuatan', consumer has a power," jelas Indah. "Tapi sayang, hal seperti itu jarang terjadi karena tidak terorganisasi."
Pengorganisasian mestinya memang berangkat dari kepedulian. Langkanya upaya pengorganisasian dengan sendirinya juga menunjukkan rendahnya kepedulian. Indah menyimpulkan, barangkali sungguh perlu waktu dan upaya publikasi terus-menerus agar kepedulian itu berlangsung secara massal. Sehingga organisasi semacam YLKI, sambung Indah, tak lagi kerepotan mengurusi terlalu banyak hal hingga nyaris tak ada fokus, karena konsumen mampu mengorganisasi sendiri persoalan-persoalannya. Tak jauh-jauh contoh yang disampaikan Indah. Di Cina ada organisai konsumen yang kegiatannya memeriksa kualitas beras yang diberikan pemerintah kepada para pensiunan. Di Italia ada organisasi yang khusus bergerak di bidang keselamatan pejalan kaki di trotoar.

Harus mau dikembalikan
Tanpa mengesampingkan pasal-pasal yang mengatur produk dan produsen, atau pasal yang memberi sanksi pada setiap pelanggaran, Undang-undang No. 8/1999 mengandung empat hal penting dalam hubungan antara konsumen dengan produk ataupun produsen.
Yang pertama adalah soal penghilangan klausula baku, yakni keterangan atau tulisan yang lazim terdapat pada setiap bon pembelian, kuitansi, lembar formulir pada bank, atau bahkan kartu parkir yang berisi keterangan sepihak. Misalnya kata-kata "Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan", "Pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas kerusakan/kehilangan kendaraan", dan semacamnya. Ini memang terobosan yang sangat berarti. Menurut Indah, setiap keterangan itu pada dasarnya adalah ikatan yang mengatur dan harus diketahui kedua pihak. "Jadi, sejak 20 April, klausula baku itu harus dihapus. Kalaupun masih ada produsen yang menggunakannya, kita berhak menolak atau bahkan melaporkannya."
Hal kedua adalah adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yakni lembaga yang mengatur seandainya muncul perselisihan dan menyangkut kerugian sampai nilai tertentu. Lembaga ini dibuat sangat sederhana dan praktis, yakni antara si konsumen, wakil produsen, dan pihak Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Memang masih ada persoalan, yakni keberadaannya di Depperindag. Artinya, orang bisa mempertanyakan, sejak kapan departemen ini menjadi instansi judisial? "Tapi enggak apa-apalah," kata Indah. "Yang penting ada, sampai kita lihat bagaimana nanti pelaksanaannya."
Yang ketiga adalah asas pembuktian terbalik. Penjelasannya, kalau selama ini ada konsumen yang keracunan makanan, misalnya, untuk mengadukannya ia yang harus melengkapi dengan bukti-bukti dan argumen tentang makanan yang beracun itu. "Tentu tidak mudah dan tidak murah pula. Maka sulit sekali hal itu dijalankan. Nah, dengan pembuktian terbalik, segala proses penelitian dan pencarian bukti-bukti itu harus dilakukan oleh produsen, sampai unsur yang meracuni itu ditemukan."
Hal penting keempat adalah dimungkinkannya penuntutan ramai-ramai atau class action seperti yang pernah dilakukan YLKI terhadap PLN dan Pertamina. Ada harapan untuk jadi lebih baik, karena peluang menangnya bisa besar, atau sekurang-kurangnya tidak serta-merta kalah seperti halnya class action YLKI terhadap PLN. "Saya tahu pihak Depperindag sebetulnya kurang setuju pada hal ini. Mereka khawatir kalau class action sering terjadi, banyak perusahaan bangrut karena harus membayar tuntutan. Tapi biarlah, toh sudah diundangkan dan semestinya pemerintah berada pada posisi tidak memihak. Mereka mengizinkan produsen mencari keuntungan, tetapi harus sesuai aturan dan tidak merugikan konsumen," tambah Indah.
Bagi konsumen, undang-undang itu sungguh merupakan landasan yuridis untuk membela diri dan mempertahankan haknya. Sementara bagi produsen bisa menjadi ancaman kelangsungan usaha sebagaimana dikhawatirkan pihak Depperindag. Namun sebagai produk konstitusional, undang-undang itu mestinya lahir karena pemikiran masak dan komprehensif, tanpa mengabaikan kepentingan produsen. Bahkan mungkin menjadi semacam standar produk dan pelayanan yang semestinya ada di setiap masyarakat beradab.
Memang perlu waktu untuk dipahami dan konsisten diterapkan, apalagi menjadi budaya. Tentu saja tidak cepat. Selagi kita semua beradaptasi dengan kebiasaan baru, beranikanlah untuk mempersoalkan setiap kerugian. Kendatipun itu perlu pengorbanan. Dimarahi pemungut iuran televisi karena tak mau membayar, tidak parkir di tempat parkir yang harganya melebihi ketentuan, hanya menelepon dari kios telepon umum kalau tak setuju dengan tarif yang ditetapkan PT. Telkom, bahkan berdebat dengan kondektur bus kalau ia diam-diam menaikkan harga melebihi ketentuan.(SL)

(Intisari, Mei 2000)

No comments: