Mahfouz

Di lorong itu ada kedai kopi Kirsha. Dindingnya yang doyong dihias ragam arabesk berwarna-warni. Bau racikan jamu menyebar: aroma masa lampau yang jadi bumbu dan obat orang ramai.
Tapi dari latar yang apak itu ada sikap menampik anasir masa lalu, seakan-akan ingin menghalau warisan yang membentuk diri dalam ketertinggalan bertahun-tahun. Ketika datang seorang pengamen tua memainkan alat gesek dua dawai buat mengiringi selawat Nabi, Kirsha berteriak: ”Kau mau paksa kami dengarkan itu lagi? Sudah, cukup, cukup! ’Kan sudah kuperingatkan minggu lalu!”
Bagi Kirsha, penyair-penembang tua itu hanya sisa yang dilampaui sejarah. ”Kami hafal semua kisah yang kau ceritakan…. Orang kini tak menghendaki penyair. Mereka terus-menerus minta radio, dan aku sudah memasangnya di sudut itu. Pergilah. Tinggalkan kami….”
Zuqaq al-Midaqq (Lorong Midaq), novel Naguib Mahfouz yang pertama kali terbit pada tahun 1947, dalam banyak hal bercerita tentang Kairo, tapi juga Mesir, dan juga, dalam arti tertentu ”Dunia Ketiga”—sebuah dunia yang, menurut Mahfouz dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya pada tahun 1988, tempat orang didera kerja untuk membayar utang, tenggelam dalam bencana dan rudin dalam kelaparan, tempat manusia didiskriminasikan dan, seperti orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan, hidup terasing di tanah mereka sendiri. Tak mengherankan bila novel ini dapat disadur jadi sebuah film Meksiko.
Tapi bukan kesengsaraan itu sebenarnya yang mengusik. Di dunia seperti yang menghuni lorong Midaq, hidup bagaikan sepetak tanah genting. Ia terbentang di antara masa lampau yang bak istana purba yang megah tapi berdebu dan masa depan yang tak jelas tapi gemilang, karena apa pun bentuknya, yang akan datang niscaya lebih baik ketimbang yang ada sekarang.
Hamidah, gadis cantik dalam novel ini, yang mendambakan lepas dari masa kininya, bersedia diperistrikan Abbas, seorang pemuda yang tak menarik hatinya namun bisa menjanjikan jalan ke luar. Lelaki itu bekerja jadi barbir bagi pasukan Inggris. Hamidah sendiri kemudian jadi pelacur melayani tentara Sekutu yang bermarkas di Kairo pada masa perang melawan Hitler itu. Germonya memberinya nama baru, ”Titi”. Hamidah patuh. Nama, baginya, seperti ”pakaian tua, dapat ditanggalkan dan dilupakan”.
Tapi tak semua hal mudah dilupakan. Lorong Midaq, sebagaimana dilukiskan Naguib Mahfouz, adalah ”permata dari zaman yang telah berlalu yang pernah bercahaya seperti bintang berkilap dalam sejarah Kairo”. Sejarah memang telah membentuk sedimen yang tebal di kota itu. Pada 969 para pengikut Fatimah, putri Nabi, menaklukkan kota itu ketika mereka hendak menegakkan daulat sendiri melawan Daulat Abbasiyah di Baghdad. Nama Kairo pun dimulai. Al-Qahira berarti ”Yang Menang”. Posisinya menanjak. Pada abad ke-13 ia jadi ibu kota ketika kaum Mameluk berkuasa, dan begitulah seterusnya, juga ketika yang bertakhta berganti-ganti.
Saya tak kenal pandangan Mahfouz dan tak tahu bagaimana ia memandang masa silam. Seperti banyak orang, saya hanya menduga tiap imajinasi tentang Mesir—negeri yang begitu erat di hati Mahfouz dan praktis tempat ia tak pernah beranjak—dibentuk oleh sejarah yang memberat di kepala, seperti mahkota yang berbobot. Dalam wawancaranya untuk buku Mohamed Salmawy, Mon Egypt, sang sastrawan menekankan betapa besarnya sejarah dan betapa tipisnya geografi Mesir: peradaban kuno itu bermula dari sebilah tanah sepanjang Sungai Nil. Rasa bangga memandangnya, kata Mahfouz, mirip rasa bangga tentang orang tua kita.
Tapi bukankah rasa bangga itu sebenarnya yang membuat orang tua kita, bukan sebaliknya? Masa lalu, istana purba yang megah tapi berdebu itu, dibentuk karena sejenis kehilangan—dan kehilangan itulah yang tak pernah hilang.
Dalam novel yang kemudian diterjemahkan sebagai The Children of Gebelaawi, sang patriarkh, Gebelaawi, membangun sebuah rumah agung di satu oasis di gurun gundul. Tapi gedung itulah kemudian yang jadi sumber pertikaian keluarga. Kapan saja ada yang murung, menderita atau terhina, ia akan menunjuk ke rumah di arah ke gurun itu, dan berkata, ”Itu rumah nenek-moyang kita, kita semua anak-anaknya, dan kita punya hak memilikinya. Kenapa kita kelaparan? Apa yang telah kita lakukan?”
Novel ini, yang mulai ditulis pada 1957 dan diserialkan di koran Al Ahram, dilarang diterbitkan di Mesir. Para ulama di Universitas Al Azhar mengharamkannya. Baru kemudian, pada 1967, cerita yang tak dapat dibaca di seluruh dunia Arab itu terbit di Libanon dengan judul Awlad Haratina (”Anak-anak Gang”).
Memang bukan persoalan tafsir terhadap masa lalu yang menyebabkan lembaga kekuasaan agama itu murka, melainkan persoalan tafsir atas teks. Novel itu, yang bisa dibaca sebagai alegori yang muram tentang Mesir di bawah kepemimpinan Nasser, oleh para ahli agama dianggap penghinaan kepada Islam: jumlah bab dalam novel ini, kata mereka, sama dengan jumlah surah Qur’an, dan Gebelaawi, yang dianggap lambang Tuhan, mati di bagian akhir. Agaknya ketika Mahfouz luka parah setelah dicoba dibunuh pada 1994, tuduhan macam itulah yang masih berdengung di kepala sang pembunuh.
Tapi bukankah masa lalu juga seperti novel: sebuah teks yang tak dapat dicopot, tapi selalu dibaca dan dibentuk oleh rasa kehilangan? Dalam hal para ulama Al Azhar, rasa kehilangan itu datang karena merasa iman terancam dan agama tak lagi utuh dan stabil.
Persoalannya: keadaan terancam itu akan selalu menyertai tiap iman, tiap dogma, karena sumber Kata tak lagi terjangkau. Tapi anehnya manusia justru bisa nyaman dengan itu. Seperti dikatakan Kirsha, si pemilik kedai, orang tak butuh lagi penyair yang menembangkan selawat Nabi. Mereka butuh radio.
Seperti penyair tua di novel itu, Mahfouz pergi, bahkan sebelum ia meninggal pekan lalu. Bunyi-bunyi lain telah meningkah suaranya yang kian lemah.

Goenawan Mohammad
Source: Tempo, Edisi. 28/XXXV/04 - 10 September 2006

No comments: