Perjalanan Awal Dinar-Dirham di Nusantara (2000)


Sekilas Sejarah Dinar-Dirham di Nusantara
Awal dari perjalanan dinar-dirham di Indonesia dimulai dari 3 orang fuqara shadilliya-darqawiyya yang belajar kepada Shaykh Dr Abdalqadir As-Sufi di Maroko tahun 1999. Sepulang dari pertemuan moussem di Maroko, mereka segera mencetak dan juga mensosialisasikan dinar-dirham, yang dibantu oleh beberapa pihak, ke berbagai daerah di nusantara hingga hari ini (2007). Tidak lupa saya ingin mengingatkan salah satu yang juga gigih mendorong gerakan dinar-dirham ini adalah Pak Adi Sasono yang dengan ketulusan membantu supaya ini berjalan untuk masyarakat luas.
Gerakan dinar-dirham ini dimulai oleh jamaah Murabitun Nusantara yang pada awalnya dimulai di Bandung dan Jakarta oleh dua orang amir, dimana mereka mendirikan ribat-ribat untuk insan agar dapat berkumpul dan mengambil ilmu ini yang dimulai dengan berdzikir dan berkumpul (keep company) serta juga menjalankan amalan faraid lainnya.
Jelas pada awalnya bukan perkara senang dan mudah ketika kami mulai memperkenalkan kembali ilmu dan amal yang berkaitan dengan dinar-dirham (dan kami bersyukur kepada Allah yang mengirim seorang wali zaman ini, dari ujung dunia yaitu Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi untuk menjelaskan hal muamalat secara lengkap, shariat dan-hakikat). Di awalnya kebanyakan praktisi ekonomi ribawi (juga perbankan syariah dan asuransi syariah) mencibir dan malah bingung dengan dinar-dirham, sedangkan yang Anda lihat sekarang ini pada tahun 2007 dan ke depan mulai banyak orang memakai dan membicarakan dinar-dirham, dan sebagian dari orang-orang yang tadinya skeptis mulai mengerti sedikit-sedikit tentang dinar (mudah-mudahan ke depan orang-orang ini jadi mengerti keseluruhan amal dan bangunan muamalat ini secara utuh). Sekarang mari kita tengok sedikit perjalalan awal kembalinya dinar-dirham.

Perjalanan Awal Dinar-Dirham
1992, Granada, Spanyol. Dinar-dirham pertama dicetak kembali oleh Islamic Mint Spanyol di bawah kewenangan World Islamic Trade Organization (WITO), dengan spesifikasi mengikuti standar yang ditetapkan 'Umar ibn al-Khattab, yakni dinar terbuat dari emas 22 karat 4,25 gram dan dirham dari perak sterling (95%) 2.975 gram. Sejak itu dinar-dirham pernah dicetak di Spanyol, Skotlandia, Jerman, Afrika Selatan, Dubai, Indonesia.
1993, Kurtzman menulis dalam bukunya, “The Death of Money” bahwa konsep uang-kertas telah diputarbalikkan ketika Presiden Nixon melepas dolar AS dari emas yang menyokongnya.
Turki. Prof ‘Umar Ibrahim Vadillo, pengagas dan pimpinan WITO, menyajikan dinar-dirham ke hadapan Dr. Necmettin Erbakan yang menduduki kursi perdana menteri setelah Partai Refah menang Desember 1995. Dr. Erbakan lalu menyatakan akan menjadikan dinar emas sebagai mata uang nasional. Dalam sebuah Konferensi Islam di mana Istanbul dan Gubernurnya, Recep Tayyib Erdogan, menjadi tuan rumah, Dr. Erbakan meminta Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi naik ke atas panggung dan mengacungkan dinar ke hadapan warga Istanbul. Aula konferensi serentak menjadi semarak dengan tepukan membahana dan seruan takbir. Sayang, momen itu tak berlangsung lama. Juni 1997, Dr Erbakan jatuh lewat sebuah kudeta yang digalang militer, dan partai Refah dibubarkan Mahkamah Tinggi Konstitusional, Januari 1998.
1996, Afrika Selatan. Diterbitkan buku “The Return of the Gold Dinar”, disusun oleh ‘Umar Ibrahim Vadillo, oleh penerbit Madinah Press. Buku tersebut memberi penjelasan lengkap, tak hanya mengenai sejarah dinar-dirham namun juga bagaimana uang-kertas mempengaruhi harga-harga.
1996, website pertama www.e-dinar.com, yakni sistem pembayaran elektronik via internet berbasis dinar emas, diluncurkan. Dengan e-dinar ini, segala masalah yang timbul seperti ketidakpraktisan mengirim uang dengan dinar emas dapat diselesaikan.
1998, Universiti Sains Malaysia, Penang. Dinar emas dan dirham perak mulai dibahas dalam International Islamic Political Economy Conference (IIPEC) ke-3 yang diresmikan oleh Tun Daim Zainuddin, yang kemudian menjabat Menteri Keuangan.
1998. Dr Nasir Farid Wasil, Mufti Mesir, menyerukan ekonomi Islam kembali disandarkan kepada emas dan perak, sebagai pengganti dolar Amerika.
30 Oktober 1998, Chicago. Di hadapan American Muslim Social Scientists, Imad-ad-Dean Ahmad dari Minaret of Freedom Institute menyampaikan pesan pentingnya dinar dalam moneter Islam.
Juli 1999, Jakarta. Diadakan seminar bertajuk ”Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter” yang digelar PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dan SEM Institute. Hasil seminar itu telah dibukukan dengan judul yang sama.
2000, Indonesia. Dinar dan dirham dicetak kembali pertama kalinya di Nusantara oleh fuqara shadilliya-darqawiyya (Amir Achmad Adjie, Amir Abbas Firman dan Muqaddem Malik Abdalhaqq) dan dinar-dirham mulai diedarkan melalui Islamic Mint Nusantara. orang-orang ini yang juga bergiat menyebarkan ilmu dan amalnya bagaimana menjalankan dinar-dirham dan keseluruhan banguanannya, melalui ribat-ribat yang aktif di Jakarta dan Bandung.
2000, e-dinar Ltd, sebuah institusi swasta berbadan hukum yang mengoperasikan e-dinar, didirikan di Labuan, Malaysia. Kemudian e-dinar diluncurkan dalam IIPEC ke-4, yang diselenggarakan ISNET-USM dan diresmikan oleh Deputi Perdana Menteri Malaysia. Kini sebanyak 300,000 orang dari 160 negara telah mulai menggunakannya.
25 Juni 2001, Kuala Lumpur. Saat meresmikan Simposium Al-Baraka ke-20 mengenai Ekonomi Islam. Dr Mahathir Mohamad menyatakan digunakannya dinar emas sebagai mata uang Muslim dalam Islamic Trading Block dan sebagai cadangan nasional negara-negara anggota OKI.
Juli 2001, Kuala Lumpur. Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi didampingi ‘Umar Vadillo, CEO e-dinar Ltd., bertemu dengan Dr Mahathir. Kemudian, menjelang penganugerahan gelar doktornya, Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi menyampaikan “Restoration of Fiscal Islam” yang menegaskan dinar emas dan dirham perak perlu kembali digunakan dalam sistem moneter.
November 2001, Dubai. Islamic Mint secara resmi meluncurkan dinar emas dan dirham perak di Uni Emirat Arab, dan khalayak dapat memperolehnya di Thomas Cook Rostamani Exchange Company maupun di Dubai Islamic Bank. Dalam kesempatan itu juga ‘Umar Ibrahim Vadillo menekankan perlunya zakat dibayar dengan dinar.
24 November 2001, Bandung. “Seminar Dinar-Dirham, Solusi Krisis Mata Uang”, diadakan oleh DKM Masjid Unpad, dengan pembicara di antaranya Achmad Iwan Adjie dari Islamic Mint Nusantara dan Zaim Saidi dari PIRAC.
Maret 2002, Kuala Lumpur. Kembali satu berita gembira saat Dr. Mahathir Mohamad menyatakan bahwa Malaysia telah menyediakan mekanisme penggunaan dinar emas dan menjadikannya alat pembayaran dalam perdagangan internasional.
1 Mei 2002, Kuala Lumpur. Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad, kembali menyatakan bahwa Malaysia sedang menjajagi usaha digunakannya dinar emas dalam perdagangan dengan tiga negara Asia Barat, dan Maroko, Libya serta Bahrain telah menyatakan tertarik. Beliau juga mengusulkan digunakannya sistem e-dinar untuk menyiasati perpindahan emas dalam bentuk fisik dalam pembayaran internasional dan dalam hal itu perjanjian bilateral diperlukan.
Akhir Mei 2002, Medan. Yayasan Dinar Dirham menyelenggarakan seminar bertemakan dinar-dirham solusi krisis moneter, dengan pembicara di antaranya Dr. Hakimi, Dr. Zuhaimy, Dr. Abdalhamid Evans, dan O.K. Saidin. Seminar tersebut berhasil menekankan perlunya mekanisme inti yakni suq, qirad dan dinar untuk kembali kepada ekonomi yang sejati, ekonomi yang lebih menitikberatkan pada pasar, qirad, perdagangan, waqaf, paguyuban dan dinar emas.
Agustus 2002, Kuala Lumpur. Dalam seminar “Stable and Just Global Monetary Systems” Mahathir menegaskan digunakannya dinar emas sebagai alat pembayaran dalam perdagangan bilateral antara Malaysia dan negeri lain mulai pertengahan 2003, dan selanjutnya diperluas menjadi perdagangan multilateral. Kemudian penasihat ekonomi perdana menteri, Tan Sri Nor Mohamed Yakcop, menjelaskan mekanisme penggunaan dinar emas melalui perjanjian bilateral dan multilateral.
Oktober 2002. Ketua PIRAC Ir. Zaim Saidi mendirikan Wakala Adina di Jakarta. Sebelumnya, telah berdiri pula Wakala-Islamic Mint Nusantara di Bandung dan Wakala Ribat Jakarta. Fungsi Wakala di antaranya sebagai gerai tukar di mana khalayak dapat berjual-beli, menukar dan menitipkan dinar-dirhamnya. Karena fungsinya sebagai wakil dari pemilik dinar-dirham, maka Wakala tak boleh meminjamkan dinar-dirham maupun memberikan kredit kepada pihak ketiga. Zaim Saidi juga dikenal aktif menulis dinar-dirham di berbagai media dan mengisi berbagai seminar dan diskusi.
2 November 2002, Bandung. Diselenggarakan Semiloka “Dinar dan Dirham sebagai salah satu alternatif Keluar dari Himpitan Krisis”, di Balai Asri Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung. Bertindak sebagai pembicara dalam Semiloka yang diadakan ICMI yakni Dr. Hakimi Ibrahim dari ISNET USM Malaysia, Ketua umum ICMI Adi Sasono, dan pimpinan Islamic Mint Nusantara Amir Achmad Iwan Adjie. Dalam kesempatan itu Adi Sasono mengajak semua pihak menguatkan perekonomian Indonesia supaya tidak bergantung pada negara lain. Salah satunya adalah dengan penggunaan dinar-dirham yang stabilitas nilai mata uangnya terjamin.
22-23 Oktober 2002, Kuala Lumpur. Satu seminar besar lain yang dihadiri negara-negara anggota OKI, yakni “The Gold Dinar in Multilateral Trade”. Dalam seminar itu Bijan Latif, pimpinan Central Bank Iran, mendukung didirikannya sekretariat di Malaysia untuk mengkoordinasikan perkembangan kebijakan dinar emas. Dr. Mahathir Mohamad juga menyatakan untuk kembali kepada perjanjian Bretton Wood di mana mata uang dunia disandarkan kepada emas.
21 November 2002, Jakarta. Seminar “Zakat dan Dinar Sebagai Kekuatan Dimensional Ekonomi Bagi Hasil” diselenggarakan di Auditorium Plasa Mandiri dengan pembicara seperti Revrisond Baswir, Iwan Pontjowinoto, Jefril Khalil, Zaim Saidi, dan Eri Sudewo dan lainnya.
27 November 2002. Dalam satu seminar di Jakarta, ICMI mengusulkan pembayaran haji dengan dinar. ”Saya mengusulkan kenapa kita tidak merintis sesuatu yang lebih radikal dalam konsep syariah dengan membayar ongkos naik haji menggunakan dinar saja,” ujar Adi Sasono. Beliau berpendapat, dengan menggunakan dinar maka spekulasi fluktuasi mata uang ataupun permainan valas dapat dihindari. 22 Desember 2002, bertempat di Gedung MUI Depok, BMT Al Kautsar, Depok, meluncurkan pemakaian dinar dan dirham. Salah satu produk yang dipasarkan dengan dirham adalah air dalam kemasan MQ. Tiap kardus, berisi 48 gelas air kemasan MQ, dijual oleh AL Kautsar dengan harga 1 dirham. “Kami ingin menjadikan dinar dan dirham sebagai mata uang sejati umat Islam,” ujar Ahmad Saifuddin, Ketua Umum BMT Al Kautsar kepada Republika. Dalam acara tersebut hadir pula perwakilan dari Ahad Net yang menyatakan tengah menjajagi pemakaian dinar dan dirham dalam jaringan usahanya.
24 - 26 Januari 2003, Pontianak. Dalam pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI dan Konferensi Nasional Ekonomi Syariah, Wakil Presiden Hamzah Haz mencanangkan sosialisasi penggunaan mata uang dinar dan dirham. Pemasyarakatan penggunaan dinar-dirham, terutama dalam pembayaran zakat, transaksi berskala besar dan internasional, akan melibatkan berbagai lembaga keuangan seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), Dompet Dhuafa Republika, PIRAC, Murabitun Nusantara, Yayasan Dinar-Dirham Medan, Masyarakat Syariah, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), maupun Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk). Seusai menutup Konferensi dan Silaknas, mantan ketua umum ICMI Adi Sasono menyatakan ICMI menyarankan penggunaan mata uang dinar dan dirham secara bertahap dimulai dari tabungan haji, alat pembayaran zakat, mas kawin, tabungan masa depan (beasiswa). ICMI juga menyerukan agar pemerintah berani mengambil kebijakan politik dalam meningkatkan peran dinar dan dirham sebagai cadangan devisa maupun sebagai alat tukar transaksi.
27 Januari 2003, Jakarta. Menurut ketua Departemen Ekonomi ICMI, Sugiharto, ICMI dan sejumlah institusi lain yang tergabung dalam Forum Gerakan Dinar-Dirham Indonesia (Forindo), seperti MUI, Yayasan Dinar-Dirham, PNM, Wakala Adina, Masyarakat Ekonomi Syariah, Asbisindo, dan Forum Zakat Nasional, sedang menyiapkan cetak biru penerapan mata uang dinar dan dirham dalam perekonomian Indonesia.
Januari 2003. Pakar ekonomi dari Universitas Bengkulu (Unib), Prof. Dr. Zulkifli Husin, SE, MSc, menilai penggunaan mata uang dinar dalam perdagangan luar negeri akan menguntungkan perekonomian Indonesia, karena nilainya relatif stabil.
Kini, Dinar-Dirham dicetak secara berkesinambungan oleh Islamic Mint Dubai dan Islamic Mint Nusantara, dan digunakan secara pribadi di 22 negara.
Mulai 2004, Malaysia akan menggunakan dinar emas sebagai alat tukar dalam perdagangan bilateral Malaysia-Iran.

Oleh: Abbas Firman
Source: http://www.islamhariini.org/dinar/dinAR10.htm

Pakai Dinar, Tinggalkan Dolar!

Mata uang emas Dinar dan uang perak Dirham telah mulai digunakan kembali oleh sebagian masyarakat Muslim dan non-Muslim sejak sepuluh tahun terakhir. Jika telah meluas, insya Allah akan menggeser dominasi Dolar.
Kalau Anda seorang pedagang barang atau penjual jasa, jangan heran jika suatu saat ada orang yang menawarkan pembayaran dengan menggunakan uang emas Dinar dan uang perak Dirham. Juga jangan heran jika suatu saat pegawai Anda minta digaji dengan kedua mata uang tersebut.
Memang, Dinar dan Dirham merupakan mata uang zaman dulu. Keduanya lazim digunakan pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup empat belas abad silam. Dinar dan Dirham telah lama hanya menjadi bahan cerita dan kenangan tentang mata uang di masa lampau. Tapi patut diketahui, mata uang tersebut kini telah 'hidup kembali', terutama sejak Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, menyatakan hendak menggunakan Dinar sebagai alat tukar perdagangan negaranya dengan negara-negara Muslim di tahun 2003 mendatang.
Mahathir jelas punya andil besar dalam menghidupkan kembali Dinar , tetapi sesungguhnya dia bukanlah orang pertama yang melakukannya. Sebelum Mahathir mengungkapkan dukungannya terhadap Dinar, bahkan jauh hari sebelum terjadi
krisis moneter yan g melanda negara-negara di Asia, pada 18 Agustus 1991 sebuah komunitas Muslim di Eropa yang bernama 'Murabitun' telah mengeluarkan fatwa tentang 'Larangan Pemakaian Uang Kertas sebagai Alat Tukar'. Mereka kemudian mencetak mata uang emas Dinar serta mata uang perak Dirham sebagai pengganti uang kertas yang telah mereka haramkan.
Pencetakan Dinar dan Dirham pertama kali dilakukan di Granada, Spanyol, tahun 1992. Dari salah satu kota di bekas wilayah kekhalifahan Islam di Andalusia tersebut Dinar dan Dirham kemudian disebar ke 22 negara oleh para jamaah Murabitun. Indonesia tidak ketinggalan, ikut kecipratan dua mata uang tersebut. Bahkan menurut Malik Abdulhaqq Dwito Hermanadi, liaison officer Murabitun Nusantara, sejak 1999 Dinar dan Dirham telah dicetak di Indonesia melalui PT Logam Mulia, sebuah BUMN anak perusahaan PT Aneka Tambang.
Uang emas dan perak itu kemudian disebarluaskan oleh para jamaah Murabitun Nusantara ke berbagai wilayah di Indonesia dan ke luar negeri melalui jaringan Murabitun International. Jumlah yang disebar memang belum begitu banyak. Menurut Malik, sejak dicetak pertama kali oleh PT Logam Mulia hingga kini baru beredar sekitar 1.000 keping uang Dinar dan 3.000 keping uang Dirham. Namun menurut Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Zaim Saidi, jika Dinar dan Dirham sudah dikenal oleh masyarakat luas, kebutuhan terhadap mata uang tersebut akan terus besar, mengingat konsumsi logam mulia masyarakat Indonesia yang cukup lumayan. Berdasar data terakhir, kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia terhadap emas setiap tahunnya tidak kurang dari 25 ton emas. "Itu artinya setara dengan 5,88 juta Dinar," ungkap Zaim.
Saat ini konsumsi emas tersebut sebagian besar memang masih untuk pembuatan perhiasan. Namun jika kesadaran masyarakat sudah semakin meningkat serta infrastruktur pelayanannya sudah tersedia maka bisa diharapkan permintaan emas untuk pembuatan Dinar juga akan semakin meningkat.
Perkiraan tersebut tidak berlebihan mengingat beberapa tahun terakhir masyarakat luas sudah dikenalkan dengan koin emas ONH (Ongkos Naik Haji) yang dikeluarkan oleh PT Pegadaian. Bahkan Pemerintah pernah pula mengeluarkan koin emas peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-50, peringatan 100 tahun Bung Karno serta peringatan 100 tahun Bung Hatta, meski dengan jumlah cetakan yang sangat terbatas. Jadi pemanfaatan Dinar dan Dirham oleh masyarakat luas sesungguhnya tinggal menunggu waktu saja. Tinggal diberi percepatan dengan kampanye yang intensif.

Dinar untuk ONH
Setelah Pemerintah RI melalui PT Pegadaian mencetak koin emas ONH sepatutnya Pemerintah juga menetapkan perhitungan dan pembayaran biaya perjalanan ibadah haji (BPIH, nama baru dari ONH) dengan mata uang emas Dinar. Seperti diketahui, selama ini biaya perjalanan haji menggunakan patokan nilai Dolar, karena untuk bertransaksi dengan Arab Saudi, Pemerintah RI menggunakan Dolar. Sehingga tentu saja yang diuntungkan Amerika.
Dengan jumlah jamaah haji sekitar 200 ribu orang per tahun, sebenarnya Indonesia negara dengan jamaah haji paling banyak punya posisi tawar (bargaining position) yang kuat terhadap pemerintah Arab Saudi. Jika Pemerintah RI menawarkan pembayaran dengan Dinar kepada pemerintah Arab Saudi, kemungkinan besar disetujui. Sebab nilainya begitu besar. Kalau biaya perjalanan haji di tahun ini Rp 25 juta per orang, dan jika harga emas per gram Rp 70.000 maka jika biaya itu dibayar dengan uang emas maka jumlahnya setara dengan 84 Dinar per orang. Untuk seluruh jamaah haji Indonesia nilai transaksinya bisa mencapai 16,8 juta Dinar.
Kalau itu disetujui maka Pemerintah RI tidak perlu menukar Rupiah dengan Dolar terlebih dulu, baru kemudian menyerahkan ke Arab Saudi. Dengan Dinar, Pemerintah Indonesia bisa langsung menyerahkan uangnnya kepada Pemerintaha Arab Saudi. Praktis dan hemat biaya, karena tidak terpotong margin jual beli valuta asing.
Yang menarik, pengguna mata uang Dinar dan Dirham kini tidak terbatas di kalangan Muslim saja. Seperti diceritakan Malik, di kota Norwich, Inggris, komunitas Murabitun di kota itu selama beberapa tahun terakhir kerap mengadakan pasar raya Muslimin di akhir pekan dengan menggunakan alat tukar uang Dirham.
Para pembeli ketika memasuki arena pasar menukarkan uang kertas mereka ke Dirham lalu menggunakan Dirham itu berbelanja. "Tidak hanya kaum Muslimin, orang non-Muslim mempergunakannya di pasar raya itu," kisah Malik. Hal serupa terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab. "Bahkan sejak tahun 2000 pada acara Dubai Shopping Festival yang berlangsung di bandara kota itu para pengunjung Muslimin dan non-Muslim bisa berbelanja berbagai benda dengan menggunakan Dinar dan Dirham," kata Malik.
Di Indonesia sendiri komunitas Murabitun sudah menerapkan pembayaran upah dan gaji dengan Dinar dan Dirham. "Misalnya untuk upah pencetakan buku kami menerima dalam Dinar ," tambah penerjemah buku Sistem Dajal karya Ahmad Thomson itu. Begitu juga beberapa perjanjian qirad dengan teman-temannya di Malaysia sudah dilakukan dalam hitungan Dinar .
Tanpa diketahui banyak orang, ternyata Dompet Dhuafa (DD) sudah menerima pembayaran zakat sejak awal berdirinya di tahun 1993. Kini tengah mempersiapkan kampanye berzakat dengan Dinar dan Dirham yang akan digelar tahun depan. Sementara persiapan berlangsung DD juga tengah mencoba untuk menggaji karyawannya dengan Dinar.
Zaim Saidi, sebagai salah seorang aktivis LSM yang paling lantang mengkampanyekan Dinar dan Dirham juga tak mau kalah konsekuen. Dalam berrmuamalah sehari-ia hari kerap mengajak orang menerapkan Dinar. Misalnya tatkala ia menerima honor seminar, Zaim meminta dibayar dengan Dinar. Begitu juga jika PIRAC menyelenggarakan seminar, para pembicaranya ditawari apakah hendak dibayar dengan Dinar atau Rupiah.
Melihat berbagai kemajuan itu, Malik mengungkapkan rasa optimisnya bahwa masyarakat yang menerapkan Dinar dan Dirham akan terus bertambah. "Jadi walaupun masih dalam jumlah kecil dan terbatas--bukan saja di komunitas Murabitun--telah terbentang arena-arena dimana Dinar dan Dirham berfungsi sebagaimana ditegaskan dalam sunnah masyarakat Islam awal Madinah," kata Malik kepada Suara Hidayatullah.

Wakala
Di samping sosialisasi yang harus digencarkan, menurut Zaim Saidi, perlu juga disediakan infrastrukturnya, antara lain berupa gerai penukaran uang Dinar (money changer) dan wakala, yakni lembaga penitipan uang Dinar dan Dirham serta penyedia jasa transfer. Di lembaga itu orang bisa menitipkan uang Dinar dan Dirhamnya sekaligus dapat mentransfernya ke wakala lain. "Dengan demikian jika kita mempunyai rekan bisnis di luar negeri kita tinggal menyetor dinar ke wakala, lalu wakala itu mentransfer uang dinarnya ke rekan bisnis di luar negeri melalui wakala setempat. Prakteknya seperti kartu debet," jelas Zaim.
Jasa transfer demikian kerap disebut sebagai digital gold currency atau sistem pembayaran berbasis dinar emas secara elektronik, via internet (E-Dinar). Menurut Zaim, sistem tersebut kini telah berlangsung secara internasional di bawah pengelolaan e-Dinar Ltd, sebuah lembaga swasta berbadan hukum yang berpusat di Malaysia. Sedangkan secara fisik emasnya disimpan di bawah penjagaan Transguard Storage Company di Dubai.
Masih menurut Zaim, sejak mulai didirikan dan dioperasikan tahun 1997, e-Dinar kini telah mencatat lebih dari 300 ribu pemegang rekening Dinar, tersebar di lebih dari 160 negara, termasuk Indonesia. Bahkan menurut Malik, jika digabung dengan pengguna e-Gold, pemegang rekeningnya telah berjumlah 700 ribu orang. Perkembangan ini boleh dibilang di luar dugaan, karena target awal pemegang rekening e-Dinar, sekitar lima tahun lalu, dipatok hanya 10 ribu orang. Karena itu diperkirakan pada tahun mendatang perkembangannya akan kian pesat.
Dengan perkembangan teknologi transfer digital tersebut, maka kekhawatiran sebagian orang tentang ketidakpraktisan membawa serta menyimpan Dinar dan Dirham akan terpatahkan. "Misalnya Pak Ali pergi ke London dari Jakarta. Di London ia ingin mengambil Dinar-nya, maka dengan mudah ia cukup berkunjung ke salah satu wakala di Mesjid London, lalu memanfaatkan internet di situ (atau pun lewat telpon gengamnya) memindahkan e-Dinar nya ke rekening wakala itu dan mengambil Dinar fisikal sebagai tukarannya. Mudah, murah, aman, dan cepat. Biaya transfer antar rekening e-Dinar untuk nilai transfer berapapun maksimal adalah 50 sen dolar AS. Waktu transfer maksimal sekitar 10 detik," jelas Malik. Kemudahannya tidak berbeda jauh dari penggunaan mesin ATM di berbagai lembaga perbankan.
"Tapi agak berbeda dengan bisnis perbankan, uang yang disimpan di wakala tidak berstatus sebagai hutang dari penitip kepada wakala, tetapi sekedar harta titipan yang dapat diambil kapan saja dalam bentuk uang emas. Karena statusnya itu uang titipan itu tidak boleh dipinjamkan kepada pihak ketiga. Wakala mendapatkan keuntungan semata dari uang jasa penitipan dan jasa transfer. Begitu ada orang yang mau membuka usaha demikian maka kemudian program ini bisa jalan," tegas Zaim.
Menurut Malik, Murabitun saat ini baru memilik satu wakala di Bandung yang sudah beroperasi sejak tahun 2000. Empat lainnya akan menyusul di Jakarta, sebuah di Medan, serta sebuah lagi di Yogyakarta. Zaim Saidi bersama PIRAC-nya juga berencana untuk mendirikan sejumlah wakala di Jakarta.
Ada kabar Pesantren Daarut Tauhid telah membuka gerai penukaran uang Dinar dan wakala. Tapi setelah Sahid mengecek langsung ke pesantren asuhan Abdullah Gymnastiar itu di Bandung ternyata belum ada. Salah seorang pengurus pesantren yang ditemui di tempat itu malah mengaku baru mendengar berita tersebut. Mungkin baru dalam rencana.
Jadi, cepat atau lambat berbagai lembaga Islam insya Allah akan ikut serta dalam arus besar menghidupkan kembali kejayaan Dinar dan Dirham. Ketua Ketua Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) KH Kholil Ridwan misalnya, menurut Zaim telah menunjukkan minatnya terhadap usaha ini. "Beliau sudah mengundang kami ke Bogor untuk membicarakan usaha ini," katanya.

Tantangan
Sesuai hukum aksi-reaksi, seiring dengan usaha menghidupkan kembali Dinar dan Dirham, tentu akan ada usaha untuk merintanginya, yakni mereka yang kepentingannya akan terganggu oleh kehadiran uang emas dan perak. Mereka adalah sebuah kekuatan yang tersistem dan mapan, yang terutama terdiri dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan besar dari sistem riba. Lebih khusus lagi mereka adalah para spekulan yang menumpuk kekayaan dari perdagangan maya di pasar uang.
Seorang bernama Jay Taylon, ungkap Zaim Saidi, pernah menulis artikel yang disebarluaskan lewat internet yang mengingatkan pada masyarakat bahwa Dinar adalah "Islamic Bomb" yang sesungguhnya dan bukan bom nuklir yang dibuat oleh Pakistan. Kemudian Necmettin Erbakan segera dijungkalkan dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Turki oleh militer negara sekuler itu setelah ia mulai mengkampanyekan dinar sebagai alternatif pembayaran internasional.
Namun sebesar apapun usaha mereka untuk merintangi penghidupan kembali Dinar dan Dirham, kita sebagai ummat Islam harus tetap terus memperjuangkannya. Sebab fenomena ekonomi dunia yang kita hadapi sekarang justru kian jelas menunjukkan keunggulan uang emas dan perak serta sebaliknya menunjukkan kian lemahnya kekuatan uang kertas.
Uang kertas, terutama Dolar, sekarang ini nampak seperti sedang jaya-jayanya, terus membesar dan meraksasa. Namun di balik itu sebenarnya uang kertas sedang dalam keadaan menggelembung untuk suatu saat meledak.
Itulah sebabnya orang seperti Umar Ibrahim Vadillo telah mengeluarkan fatwa untuk segera meninggalkan uang kertas, terutama Dolar. Menurutnya dunia kini dibanjiri terlalu banyak Dolar. Di pasar uang dunia kini transaksi Dolar telah mencapai angka 800 trilyun Dolar AS per tahun. Sementara nilai perdagangan dunia yang merupakan sektor nil 'hanya' 4 trilyun Dolar AS per tahun. Artinya, transaksi di pasar uang itu besarnya 20 kali lipat nilai transaksi perdagangan sektor riil.
Kondisi demikian jelas mencemaskan, karena transaksi di pasar uang sesungguhnya bersifat maya, karena tidak ada barang yang diperdagangkan, kecuali uang itu sendiri. Fenomena itu kerap disebut ekonomi gelembung (bubble economy), karena nilainya yang begitu besar, tapi pada hakekatnya tidak ada barang riil yang diperdagangkan. Karena itu kita tinggal menantikan saatnya gelembung uang itu meledak, lalu meruntuhkan ekonomi global.
Pemerintah Malaysia telah memahami bahaya yanag akan muncul setelah gelembung Dolar itu meledak. Sehingga mereka sangat komit pada upaya penerapan Dinar dan Dirham. Namun sejauh ini Pemerintah Indonesia belum menampakkan kepedulian terhadap mata uang emas dan perak itu. "Jangankan mendukung, peduli saja belum. Sebab Pemerintah Indonesia tidak punya visi dan misi," kata Zaim Saidi.
Sikap yang seperti itu jelas terasa aneh, karena dampak akibat krisis moneter yang dialami Indonesia jelas lebih parah daripada yang dialami Malaysia. Sehingga seharusnya Indonesia lebih peduli dan antusias menggunakan Dinar untuk mengantisipasi dari krisis yang mungkin akan datang lagi.
Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang bertugas mengendalikan peredaran uang di Indonesia sementara ini baru sampai pada tahap mengkaji Dinar. Seperti dikatakan Kepala Biro Perbankan Syariah BI, Harisman kepada Republika (22/8/02), bulan Agustus silam ia telah mengirim seorang stafnya untuk mengikuti seminar tentang Dinar di Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun kepada Sahid, Zaim Saidi mengaku tidak yakin BI akan mendukung penerapan Dinar di Indonesia. "Selama BI masih mengelola sistem riba maka mereka tidak akan mendukung penerapan Dinar dan Dirham," kata Ketua PIRAC itu di kantornya.
Tantangan lainnya mungkin berupa semacam efek hambatan psikologis bagi kalangan non-Muslim yang menanggap Dinar dan Dirham uang khusus ummat Islam. Hambatan psikologis demikian bisa dihilangkan dengan mengingatkan sejarah Dinar yang berasal dari Kerajaan Bizantium yang raja dan masyarakatnya waktu itu meyoritas beragama Nasrani serta sejarah Dirham yang berasal dari Persia, yang raja dan rakyatnya waktu itu kebanyakan beragama Majusi. Jika ada hambatan seperti itu Adiwarman Karim melalui Gamma mengusulkan penggunaan istilah selain Dinar. "Enggak usah bilang Dinar. Katakan saja gold money," kata Direktur Karim Institute itu.
Pernyataan Adiwarman ada benarnya. Lepas dari apapun istilahnya, yang penting dapat bertransaksi dengan menggunakan uang emas, bukan uang kertas. Sebab jika menilik sejarah, ummat Islam sejak dahulu sudah biasa bertransaksi menggunakan uang emas dengan pihak non Muslim. Seperti diungkap Andhi Raharjo Eko, pengurus Murabitun di Bandung, uang emas dan perak sangat lazim digunakan dalam perdagangan antar bangsa yang berbeda bahasa dan agamanya.
VOC ketika bertransaksi dengan sultan dan penguasa di Nusantara menggunakan uang emas dan perak. Bangsa kita jual rempah-rempah, dibayar VOC dengan emas dan perak. Sehingga ada keseimbangan, ada kekayaan alam yang dibawa tapi ada kekayaan pula yang masuk. "Maka tidak heran kalau kerajaan-kerajaan di Nusantara hari ini walaupun tidak mempunyai kewenangan hukum, tapi mereka masih punya harta karun berupa emas dan perak yang banyak. Bisa dibayangkan, kalau dulu VOC menggunakan uang kertas, apa masih bisa berlaku untuk saat ini?" tanya Andhi.
Tentu saja tidak. Karenanya, tidak pernah ada harta karun yang berupa uang kertas. Uang yang dicari oleh pemburu harta karun sampai ke dasar laut dan ke perut bumi adalah uang emas dan uang perak. Bukan uang kertas. Sebab uang emas dan perak, meski telah tenggelam di dalam samudra atau terkubur di perut bumi hingga seribu tahun, tetap bernilai mahal. Daya belinya tetap utuh. Seribu tahun yang lalu sekeping uang emas dapat untuk membeli seekor kambing, setelah ditemukan kembali seribu tahun kemudian sekeping uang emas itu tetap laku untuk membeli seekor kambing. Tidak demikian dengan uang kertas. Dalam tempo setahun saja sudah menjadi lusuh. Lalu menjadi tidak laku sama sekali dalam beberapa tahun kemudian. Berbeda sekali.
Kalau begitu, kita perlu ucapkan: "Selamat datang kembali Dinar dan Dirham. Selamat tinggal uang kertas. Selamat tinggal Dolar!"

Oleh: Saiful Hamiwanto
21 Oktober 2003
Source: http://mitglied.lycos.de/rahmats/index.php?mod=1&id=19

Tinggalkan Uang Kertas, Pakailah Dinar


Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Zaim Saidi menjelaskan, untuk meninggalkan sistem riba, maka umat Islam harus menggunakan mata uang emas atau perak dan yang lebih dikenal dinar dan dirham.
Nabi Muhammad S.A.W mengatakan terdapat beberapa alat tukar yakni emas, perak, gandum, kurma, garam. Secara syariah perdagangan menganut prinsip alat tukar yang digunakan adalah seimbang, ikhlas atau suka sama suka. Dengan demikian, katanya, alat tukar yang sesuai dengan syariat atau tuntunan adalah dirham dan dinar yang terbuat dari emas dan perak.
Pengunaan mata uang tersebut akan menanggulangi masalah inflasi karena mata uang yang digunakan mempunyai nilai yang tetap dan hal ini berbeda dengan penggunaan uang kertas.
’’Yang naik adalah bukan barang atau objeknya, namun disebabkan menurunnya nilai uang tersebut,’’ ujarnya dalam pelatihan tentang waqaf di Nagoya Plaza (4/6).
Zaim mencontohkan, dari zaman Rasulullah hingga saat ini harga satu ekor kambing adalah satu dinar. Dan hingga saat ini harganya pun satu dinar atau setara dengan Rp1,2 juta.
Hal ini disebabkan nilai mata uang kertas yang terus menurun. Dan ini berbeda dengan mata uang dinar yang nilainya stabil jika dibandingkan dengan nilai mata uang lainnya seperti kertas.
Salah seorang pemikir Islam, Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan) melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu. Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak (perlu) menerbitkan uang sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Dan sebagai alat tukar nilai, uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan, artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan. (***)

4 Juni 2008, oleh Aries Kurniawan
Source: http://ariesaja.wordpress.com

Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan, dimana pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan: (1) syari'at (dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti sholat, zakat dll); (2) tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; (3) hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan (4) ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan di bawahnya ditiadakan.
Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada Allah (kecintaan yang sangat kepada Allah SWT). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'sesat'.
Dalam pupuh-nya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda-beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, Manunggaling Kawula Gusti adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya "). Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan di kala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur'an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.

Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap Muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di Bumi.

Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.

Kisah pada saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.

Pranala luar
(en) Syekh Lemah Abang
(id) Resensi buku : Sufisme Syekh Siti Jenar : Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar
(id) Resensi buku : Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam-Jawa

Source: Wikipedia Indonesia